Pebulu tangkis Indonesia di Paris tersandera Atlas

Bahasa jurnalistik itu sulit dan bisa tak tepat kalau redaksi tak mengenal sosok pembacanya. Paling aman ikuti bahasa medsos?

▒ Lama baca 2 menit

Pebulu tangkis Indonesia di Paris tersandera Atlas

Pemain ganda putra Indonesia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, yang sedang berlaga dalam Olimpiade Paris 2024 tidak tersesat di kota itu gara-gara salah baca peta.

Jangan salahkan jika ada pembaca Kompas yang mengira kejadian seperti di atas setelah membaca judul berita “Fajar/Rian Tersandera Layaknya Atlas” dari aplikasi Kompas.id terbitan pukul 21.58.

Dalam versi koran edisi hari berikutnya, Kamis (2/8/2024), yang saya baca dini hari, judulnya lebih jelas: “Fajar/Rian ‘Tersandera’ bagai Raksasa Atlas”. Maka saya teringat Bu Andar, guru IPA di SMP saya yang memperkenalkan nama Atlas pada bulan pertama saya kelas satu.

Pebulu tangkis Indonesia di Paris tersandera Atlas

Kata Bu Andar, dahulu kala orang Eropa kuno menganggap gempa bumi terjadi karena raksasa bernama Atlas oleng memanggul bola bumi. Kemudian kita tahu, bahwa Atlas dalam mitologi Yunani bukan memanggul globe melainkan menyangga lengkung langit atas perintah Dewa Zeus sebagai hukuman.

Pebulu tangkis Indonesia di Paris tersandera Atlas

Tetapi gambar yang sering kita lihat adalah patung Atlas memanggul globe. Saya ingat, di SMP saya melihat sepeda seorang murid bermerek Atlas. Ada emblem simbol pria kekar berotot memanggul globe. Sekarang saya tahu, Atlas ternyata buatan India dan pabriknya sudah tutup (2020).

Nostalgia sepeda cap Atlas bikinan India

Lalu ke mana arah ocehan saya? Bahasa jurnalistik. Karena kebetulan saya tahu cerita Atlas Yunani, maka saya langsung paham maksud judul Kompas. Misalnya saya tidak tahu, kerut kening saat membaca judul akan menggiring saya untuk mencari tahu.

Tetapi bagi sebagian orang yang bekerja di media, sudut pandang bahwa kebingungan akan mendorong pembaca mencari tahu itu salah — apalagi kalau sampai harus membuka KBBI.

Seorang pendiri media daring, namun bukan bagian dari redaksi, selalu protes jika ada berita dalam media yang menurutnya tak langsung dipahami pembaca — misalnya kata “munajat”. Dia menolak dalih redaksi yang berasumsi media mereka menyasar pembaca yang minimal tamat S1. Orang tamatan S1 pasti suka membaca.

Jika kasus berita Atlas ini muncul di media mereka dan diprotes oleh pendiri, mungkin asumsi seorang editor, bahwa tamatan S1 pasti paham mitologi Yunani, juga akan ditolak. Padahal produk perusahaan penerbit itu menyasar sarjana. Pengetahuan umum sarjana, apalagi setelah ada internet, pasti bagus.

Nostalgia sepeda cap Atlas bikinan India

Teman saya, saat menjadi editor sebuah media berita, juga berpikir serupa sang pendiri tadi. Media mereka berlainan. Mereka berprinsip jangan menggunakan bahasa yang sulit dipahami kecuali media lain sudah memulai — misalnya kata “semenjana” — dan terutama di media sosial sudah lumrah. Inti cerita: rujuklah bahasa di media sosial. Karena demokrasi berarti mengikuti suara terbanyak. Yang dipilih banyak orang itulah yang benar.

Lalu hubungannya dengan Kompas? Koran itu, seperti halnya majalah Tempo dan Koran Tempo, paham siapa pembacanya. Setidaknya merasa paham berdasarkan asumsi yang mereka yakini. Pernah berbisnis media cetak membuat mereka yakin. Apalagi mereka membuat survei dan menyelenggarakan diskusi kelompok terarah.

Nostalgia sepeda cap Atlas bikinan India

Sedangkan dalam bisnis penerbitan media berita daring, tanpa latar belakang pengalaman cetak, langkahnya lebih pragmatis. Memang, tim riset data digital pendukung redaksi dan bagian bisnis dapat memprofilkan pembaca mereka, namun redaksi tak mau repot dalam berbahasa. Rezim Google, algoritma, dan seterusnya lebih wigati untuk dituruti.

Maka kita lihat, makin banyak judul berita yang ngepop seperti media untuk remaja, bahkan menyapa pembaca sebagai “kamu” “dan “kalian”.

Apa yang saya tulis ini sumir dan saya berharap salah. Biarlah orang lain yang menelitinya, minimal sebagai skripsi.

Sengkarut kegenitan bahasa jurnalistik Kompas dan Tempo

Media dan bahasa yang ramah pembaca

Sebutlah university, bukan universitas

Tinggalkan Balasan