Genting genteng gendhèng gêndhêng

Melihat genting bekas tertata saya pun teringat bahasa. Saya mengalami diajar dalam bahasa Jawa di SD, tapi sekolah etnis lain tak mengalami.

▒ Lama baca < 1 menit

Cara me memarkir genteng bekas agar dapat digunakan lagi

Genting beton ini tertata rapi, dalam posisi masing-masing bersandar, tidak tegak lurus. Memang begitulah menata genting, tidak ditumpuk. Saya melihatnya di luar pagar samping sebuah rumah yang bagian depan maupun sampingnya menghadap ke jalan.

Sebagai anak Jawa masa lalu, saya mengenal kata “genting” dari komik tentang penculikan dan pembunuhan jenderal pada 1965. Ada prajurit melapor, “Genting, jenderal!” Artinya gawat, berbahaya, krusial. Komik itu saya baca empat tahun setelah tragedi politik Indonesia.

Kemudian, tak sampai lama, juga dari bacaan saya mengenal “genting” dan “genteng” sebagai lembaran atap rumah. Bahasa Jawa menyebutnya gêndhèng. Kata itu berbeda makna dari gêndhêng yang berarti sinting. Kosakata setiap anak akan selalu bertambah.

Bacaan, dengaran dari radio berupa ocehan penyiar dan lagu, kebaktian di gereja, kemudian kaset musik dan siaran televisi, berkomunikasi dengan orang luar Jawa dan orang asing, telah memperkaya bahasa Indonesia saya sebagai bocah Jawa. Anak Jawa yang dalam keluarga berbahasa Jawa, dan dengan orangtua berkrama madya dan inggil.

Saya mengangkat genting dari sisi kebahasaan karena saya adalah anak Jawa yang mengalami dua tahun pertama di SD, dan sebelumnya setahun di TK, dalam kelas diajar dalam bahasa Jawa.

Bahasa pengantar dalam bahasa Jawa saat itu berlaku di Jateng dan DIY. Teman saya, seorang sastrawan dan eseis kelahiran Boston, Amerika, juga mengalami diajar dalam bahasa Jawa di SD negeri, di Yogyakarta. Dia masih ingat abang mbranang dan abrit — artinya merah menyala dan merah dalam krama inggil.

Setahu saya, tolong Anda koreksi jika saya salah, bahasa Jawa sampai kelas dua itu dahulu berlaku di SD negeri dan SD swasta tertentu.

Sekolah saya, SD Kristen II di Salatiga, Jateng, yang kemudian menjadi SD Laboratorium UKSW, sampai kelas dua menggunakan bahasa Jawa. Setelah menjadi SD Lab, generasi di bawah saya tak mengalami.

Meskipun demikian, SD Kristen III dan IV, sekompleks dengan Gereja Kristen Indonesia, berbeda lokasi dari SD saya, seingat saya tak mengenal bahasa pengantar dalam bahasa Jawa. Memang sih, pelajaran bahasa daerah pasti ada, bahkan di SMP Kristen II di area yang sama, kangmas dan mbakyu mendapatkan pelajaran menulis Arab gundul. Saya menirukan Mbakyu, menulis kembang. Ternyata, kata dia, bisa dibaca kambing dan kumbang.

Dahulu di sekolah GKI tadi, yang tak mengenal bahasa pengantar dalam bahasa Jawa, mayoritas murid nya adalah keturunan Cina, termasuk SMP-nya yang mengajarkan menulis Arab.

2 Comments

Budi W. Kamis 25 Juli 2024 ~ 04.33 Reply

saya ingat saat dulu belajar membaca di tahun pertama sekolah dasar yg bahasa pengantarnya masih campur2 antara bahasa endonesa dan basa jawa, seisi kelas hampir tidak ada yg bisa melafalkan ‘motor’ untuk se-pe-da mo-tor. kebanyakan mereka ngomongnya ‘sepeda montor’ :p

Pemilik Blog Kamis 25 Juli 2024 ~ 20.38 Reply

Begitulah, motor dan montor itu berbeda. Tapi untuk brompit, sebutannya adalah pitmontor. Memang sih, kalau pakai kata sepeda, dalam bahasa Indonesia adalah sepeda motor 😂

Tinggalkan Balasan