Keset welcome dan pertanyaan orang asing maupun anak Indonesia

Kata berbahasa Inggris yang kita anggap lumrah, dan kita pahami artinya, ternyata dipersoalkan orang asing.

▒ Lama baca 2 menit

Keset bertuliskan welcome bisa kerepotan

Orang asing kadang mengajukan pertanyaan sepele namun merepotkan: soal bahasa. Mereka heran saat menjumpai kata yang tertulis dalam bahasa Inggris padahal bahasa Indonesa memiliki kata padanan maupun serapannya. Kalau dalam tulisan berdwibahasa, mereka anteng saja. Misalnya stiker “push/dorong” pada pintu.

Untunglah saya belum pernah ditanya soal tulisan “welcome” pada keset, dari keset sabut kelapa hingga keset plastik. Kalau saya jawab bahwa itu keset impor dari Cina, padahal berbahan sabut kelapa, pasti saya akan ketahuan berbohong.

Mungkin kelak kalau saya ditanya soal “welcome” saya akan menjawab ada keset sabut besar yang bertuliskan “selamat datang”. Andai kata saya dikejar kenapa keset yang besar dapat berselamat datang, saya akan menjawab ruang untuk jumlah huruf lebih memungkinkan.

Anak Indonesia yang kritis juga ada yang menyoal istilah bahasa Inggris. Malah dari mereka ada yang bisa berbahasa Inggris, dan ada pula yang pernah bermukim di luar negeri, tetapi bagi mereka penerapan teks istilah Inggris untuk hal yang ada padanannya dalam bahasa Indonesia itu aneh. Misalnya? Tulisan besar “great sale” di toko busana.

Orang asing maupun anak-anak ada yang menyoal kenapa Malaysia bisa menggunakan bahasa Melayu dalam tulisan. Malah ada yang mencontohkan Jerman, karena negeri itu punya padanan sendiri untuk istilah berbahasa Inggris, tanpa peduli akan boros karakter.

Bukan berupa pertanyaan mendebat melainkan polos ingin tahu, ada seorang asing bertanya mengapa undangan berbahasa Indonesia mencantumkan RSVP. Saya jawab itu kelaziman internasional, sehingga bukan masalah kendati banyak orang Indonesia tak dapat berbahasa Prancis.

Orang asing lain bertanya apa bahasa Indonesia untuk VVIP dan valet service. Saya menjawab tidak tahu.

Seorang asing pernah menanya saya saat dia membaca selebaran promosi penjualan rumah, ada tulisan besar “DP 15%”. Saya katakan itu singkatan down payment. Namun dia bilang abreviasi DP untuk yang itu tidak dia kenal. Ketika dia menanya padanan DP dalam bahasa Indonesia maka saya sebutkan uang muka, panjar, dan persekot. Untung dia tak gatal menanyakan padanan untuk cash back yang tertulis dalam brosur lain.

Awal tahun 2000-an ketika istilah tenggat belum meluas, saya pernah ditanya orang asing mengapa orang-orang di kantornya menggunakan istilah deadline. Saya bilang bahwa padanannya adalah batas waktu. Kalau jatuh tempo itu untuk due date.

Untunglah semua pertanyaan orang asing, tentu saja, terajukan dalam bahasa Indonesia karena mereka dapat berbahasa Indonesia, bahkan ada yang mempelajarinya sebelum ke Indonesia. Kalau saya ditanya dalam bahasa Inggris tentu kerepotan menjawab.

Saat saya masih kuliah di Jogja bersua seorang mahasiswa asal New York, Amerika, yang menjadi peserta Volunteers in Asia (VIA). Dia mempersoalkan mengapa kamus bahasa Indonesia menyebutkan kelas kata “nomina”, padahal bahasa Indonesia memiliki istilah “kata benda”. Saya lupa saat itu berkilah apa.

Keset bertuliskan welcome bisa kerepotan

Tinggalkan Balasan