Tanpa suara benda jatuh, tiba-tiba lembaran plastik tipis jambon itu melambai-lambai dari atas talang, menyapa saya yang sedang ngobrol dengan istri sore tadi di teras.
“Pasti parasut nyangkut di atap kita,” kata saya seraya beranjak.
Benar. Itu parasut mainan. Entah dari langit mana dia lalu terdampar di rumah saya. Ada karton gantungan bergambar karakter anime, sebangsa Naruto atau apalah, sebagai penerjun payung.
Yang paling sering nyasar ke rumah saya adalah layangan. Balon gas berupa boneka juga pernah. Begitu pun pesawat kertas. Kok, maksud saya shuttlecock, juga pernah. Itulah dunia anak-anak. Bermain.
Ya, bermain. Maksud saya tak hanya bermain dengan ponsel dan tablet. Bapak-bapak muda berumur 35—40 tahunan di lingkungan saya dahulu, pada masa bocah, mengalami mengejar layangan putus tali, ada yang membawa galah. Ada yang memanjat tembok pagar untuk meraih buruan sehingga dahulu saya khawatir akan ada yang terjatuh.
Tetapi mengejar layangan, dan juga bermain kelereng, setahu saya tak dilakukan anak-anak mereka. Untunglah anak-anak itu masih bermain bola, berangkat dan pulang berombongan sambil bercanda, lewat di depan rumah saya.
Mereka masih bersepeda untuk bertandang ke rumah teman sewilayah. Kadang berombongan. Sambil berceloteh. Atau bernyanyi. Riang nian.
Apakah ini sebuah romantisisme nostalgik terhadap era pradigital? Tidak. Zaman tak dapat diingkari, tak mungkin dilawan pol-polan. Saya hanya menganggap penggunaan ponsel mengenal batas. Tetapi itu otoritas orangtua masing-masing anak.
Buku pun masih penting bagi anak-anak sekarang. Tetapi bicara buku anak, bagi keluarga yang mampu membeli pun belum tentu merupakan kebutuhan.
Ehm, saya teringat kabar hasil uji kemampuan anak-anak Indonesia memahami bahasa tertulis sederhana. Hasilnya tak menggembirakan. Sila Anda lacak kabar seputar itu.
Kebiasaan membaca memengaruhi kemampuan bertutur secara tertulis. Kosakata orang yang membaca buku, tak hanya dari tuturan di media sosial, biasanya lebih kaya. Penjelajahan kata-kata dan kalimat yang mereka tempuh lebih luas.
7 Comments
Tayang mulai 1996☝️
Oh maaf saya lupa karakter yang meledak awal 2000_an
Gambarnya kayak karakter Son Goku dalam serial Dragon Ball.
Oh gitu ya. Suwun, saya gak paham anime, Lik Jun 🙏😇👍
Tapi mungkin saya salah dhing. Karena Dragon Ball (dengan karakter tokoh utama Son Goku) itu populer saat film serinya (yang sangat panjang, kayaknya bertahun-tahun) tayang di Indosiar. Saya tahu karena kala itu keponakan saya (yang tinggal serumah dengan saya) tergila-gila dengan film tsb.
https://www.liputan6.com/showbiz/read/2362713/menginspirasi-generasi-1990-an-dragon-ball-kini-dilarang-kpi#:~:text=Salah%20satunya%20mengungkapkan%20keheranannya%20karena,lama%20menayangkan%20anime%20Dragon%20Ball.
Yang saya tahu ttg Dragon Ball adalah di balik peluncuran di Jepun ada modal besar, dengan rencana marketing yang matang, sehingga dibahas di mana-mana oleh para pebisnis media
👍