Di MK kok bicara etika, bukan fakta dengan bukti

Menurut Franz Magnis-Suseno, Jokowi itu seperti karyawan toko ambil uang kas. Juga mirip mafia, halalkan segala cara.

▒ Lama baca 2 menit

Franz Magnis-Suseno tentang etika Jokowi

Sambil mengamati dua teknisi ISP memberesi kabel internet di jalan, Kamso mendengarkan obrolan Pak Adi Karung dan Pak Amat Nian tentang sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Kedua bapak itu memunggungi Kamso.

“Aneh, di MK kok saksi ahli bicara moral dan etika. Mestinya soal hukum aja, ada aturan yang dilanggar nggak. Gitu kan?” kata Pak Adi.

“Mungkin karena Romo Magnis itu pastor, jadi sudut pandangnya dari sisi itu,” kata Pak Amat.

“Makanya Romo bilang, apa yang dilakukan Jokowi, menyalahgunakan kekuasaan untuk keluarganya, itu memalukan, mirip mafioso. Ini sih opini, bukan fakta.”

“Soal pilpres ini jadi berlarut-larut, balapan sama waktu, karena yang kalah nggak menjunjung demokrasi. Udah jelas, soal etika sulit dibuktikan, yang penting suara mayoritas milih siapa. Bukan milih yang suka perubahan. Nggak milih yang tuanku rakyat tapi tuannya cuma enam belas persen.”

“Pihak yang kalah udah tahu bakal kalah di jalur angket ataupun MK. Tujuan mereka mempermalukan Jokowi atas nama edukasi berbiaya mahal bahkan misalnya para pengacara itu kerja probono.”

“Kalo pake bahasa orang sekolahan, gimana supaya Pilpres 2024 disertai catatan buat diskusi anak fakultas hukum. Tapi itu urusan elite minoritas, kaum intelektual kan suka nggak mau tahu apa yang ada di hati dan pikiran rakyat banyak.”

“Paling entar juga pada lupa. Udahlah tinggal nunggu pelantikan,” ujar Pak Adi.

Usai berkata, dia menoleh ke belakang, “Eh, ada Pak Kam! Cuma jadi pengamat ya?”

Maka kedua pria itu berusaha melibatkan Kamso yang hanya senyam-senyum.

“Pak Kam, kalo 01 dan 03 anggap Gibran nggak sah, kenapa mereka meladeni debat, mestinya sejak awal walkout dari arena dong,” kata Pak Amat.

“Kalo mundur dari pertandingan, masing-masing capres dan cawapres diancam hukuman maksimum lima tahun dan denda Rp50 miliar. Ancaman hukuman buat pemimpin partai juga segitu. Lagian masa sih belum tanding udah keok duluan?” jawab Kamso lalu melet.

“Terus misalnya nih, MK setuju pencalonan Gibran nggak sah, sehingga digelar pilpres ulang gimana, Pak Kam?” tanya Pak Adi.

“Ya, butuh biaya. Yang bakal menang Prabowo lagi karena rakyat yang dulu milih dia nggak mau dong ganti pilihan, itu sama aja ngakuin cara yang dulu salah,” sergah Pak Amat mendahului jawab.

Kamso tertawa, “Jadi sumber masalahnya di mana, kok jadi berlarut-larut gini?”

“Jangan liat spion, Pak, hehee…,” kata Pak Adi.

“Semua udah terjadi. Maaf nih, yang penting tuh solusi dan rekonsiliasi, demi rakyat, bukan demi segelintir intelektual yang text book thinking, hahahaha…,” kata Pak Amat.

Kamso memiringkan badan, mundur ke belakang, karena ada kabel optik dari atas hampir menyabet bahunya.

¬ Foto: Kompas.id

Tinggalkan Balasan