Penjual sayur mengeluh, saat ini berat berjualan karena mereka pun harus berbelanja untuk dapurnya.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Harga-harga naik, penjual kebutuhan dapur pun mengembik

Keluhan bahwa harga pangan naik setiap kali Ramadan itu klasik. Apalagi jika secara umum sebelumnya harga sembako dan bumbu sudah merangkak.

Tetapi tanpa peningkatan belanja masyarakat, termasuk konsumsi takjil tak hanya oleh mereka yang tidak berpuasa, ekonomi tak tertolong. Tanpa ikut berjualan takjil dan hidangan lain, pedagang musiman akan berat berlebaran.

Banyak pendapat soal kenaikan harga. Sudah menjadi berita harian. Tanpa berita ini dan itu pun informasi domestik, dari dapur, sudah berisi keluhan. Misalnya, tomat mungil tiga butir Rp5.000.

Paling menarik adalah menanya para penjual sayur, yang mangkal di rumah maupun berkeliling. Warung dekat rumah memprioritaskan pemesan sehari sebelumnya. Dari stok yang menyusut di warung banyak yang sudah dipesan.

Penjual keliling tak selalu dapat mengandalkan pesanan. Maka beberapa kali saya lihat saat dia melintas, isi gerobak nya masih penuh. Mereka mengenali pasarnya: mayoritas konsumen lansia tak sebagus dulu ekonominya, tak semuanya beroleh uang pensiun dan THR.

Kemarin dan hari ini saya mendengar seorang penjual sayur keliling mengeluh, dagangannya sulit laku, mereka hanya kecapaian mendorong gerobak dan menawarkan.

Syukurlah orang selalu punya harapan baik dan optimisme. Tanpa kedua hal itu hidup akan pahit. Selalu terngiang ujaran, jangan selalu melihat ke atas dan ke samping, tengoklah yang di bawah. Ujaran yang sama berlaku untuk orang yang merasa dan dianggap berada di posisi terbawah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *