Sungguh nama yang aneh untuk sebuah band beraliran grindcore, yakni Drs. H. Diding Sodikin, M.Si., padahal tak ada satu pun personel bernama itu.
Tak soal. Personel Endank Soekamti juga tak ada yang bernama itu. Dalam Pink Floyd tak ada anggota yang bernama itu karena nama band merujuk dua musisi blues Pink Anderson dan Floyd Council. Soal gelar dari Sodikin, di dunia hip hop ada Dr. Dre.
Tetapi di sini saya tak membahas musik. Memang sih, 20 Maret lalu band Cimahi, Jabar, itu merilis EP Kilau Simpang Arus Mandiri, salah satu lagunya berjudul “Bulan Merah”.
Ada hal yang menarik dalam nama band ini: penulisan gelar. Jika merujuk akun mereka di Instagram, gelar ditulis (hampir) sesuai kaidah EYD. Coba Anda perhatikan sejak penulisan Drs diikuti titik, spasi, H diikuti titik, kemudian nama lengkap, disusul oleh koma, spasi, M titik, tanpa spasi lalu Si tetapi tak diikuti titik.
Lantas kini sempatkan diri Anda memperhatikan penulisan nama dan gelar dalam undangan, pada nama mempelai maupun Anda. Lihat pula nama dalam piagam dan sertifikat. Apakah semuanya sesuai kaidah?
Kemudian carilah gambar halaman pengesahan skripsi di Google. Silakan Anda simpulkan seberapa tertib pabrik sarjana dalam berbahasa.
Soal penulisan gelar memang merepotkan, tak hanya gelar akademis namun juga lainnya, termasuk gelar kebangsawanan. Namun ijazah S1 Roy Suryo dari UGM (1991) menulis namanya lengkap: “Raden Mas Roy Suryo Udoro”. Saat itu Roy, priayi Pura Pakualaman, Yogyakarta, belum bergelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T.) — namun dalam ijazah magister kesehatan (M.Kes.) Roy dari UGM (2005), singkatan gelar tertulis KRMT sonder titik.
Memang, dalam praktik, terutama media berita, ada yang bermain gampang. Harian Kompas, yang sejak dahulu tertib dalam berbahasa, menerapkan gaya selingkung: tak ada titik dan koma dalam penulisan gelar.
Adapun majalah Tempo belakangan dalam pemberitaan seputar perguruan tinggi, bahkan ketika membahas masalah gelar akademis semisal obral gelar profesor, tak mencantumkan gelar. Cukup menyebut nama. Padahal untuk narasumber sekelas rektor biasanya bergelar serenteng.
Jadi, media turut bersalah dalam kesimpangsiuran bahasa? Untuk kasus penyingkatan gelar di Kompas dan Tempo, saya berpengandaian editornya tahu mana ejaan yang baku dan tidak, namun mereka paham bahwa redaksi menetapkan kebijakan berbahasa.
Kontan juga serupa Tempo: tak mencantumkan gelar dalam berita perguruan tinggi. Namun ketika mengutip Antara, Kontan melakukannya secara verbatim sesuai gaya Antara yang serupa Kompas, yakni gelar tanpa titik dan koma.
Ini contohnya:
“Itu semua dari sana (Kemendikbud Ristek) ya, bukan sini yang menjatuhkan, Terhitung tanggal 1 Agustus 2023 Prof Dr Hasan Fauzi yang semula jadi dosen dengan jenjang profesor dibebaskan jadi jabatan pelaksana, jabatan pelaksana itu tendik (tenaga pendidik). Tidak ada lagi guru besarnya,” ujarnya.
Sekali lagi, urusan penulisan singkatan gelar memang merepotkan. Bagaimana dengan singkatan nama? Cara paling mudah ikuti cara si empunya nama: Mahfud MD, Fariz RM, dan Addie MS.
Saya pernah salah, sok menertibkan penulisan abreviasi dalam nama mereka: menyisipkan titik. Padahal MD milik Mahfud bukanlah singkatan untuk unsur nama berisi dua kata, melainkan penyingkatan dalam huruf kapital untuk Mahmodin sebagai pembeda dirinya dengan dua Mahfud lainnya saat dia di SMP (¬ Suara).
Artinya MD-nya Mahfud berbeda dari Rustam Munaf untuk Fariz dan Muljadi Sumaatmadja untuk Addie. Sila lihat pedoman di Wikipedia Indonesia — namun di sana, laman lain, lema untuk Addie ditulis Addie M. S..
Masih ada lagi soal gelar? Dalam nama band ada Drs., singkatan untuk doktorandus. Siapa pun yang bergelar doktorandus pasti sudah tua karena kini perguruan tinggi tak memberikan gelar sarjana tersebut, bahkan sebelum terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1993.
Adapun gelar insinyur, yang disingkat Ir., setahu saya adalah gelar profesi seperti halnya dokter dan apoteker. Maka di Persatuan Insinyur Indonesia (PII) diatur tingkatan sertifikasi profesi, yakni insinyur profesional pratama, madya, dan utama.
Sedangkan syarat menjadi anggota PII adalah memiliki “ijazah insinyur, ijazah bidang teknik, dst…” Saya menduga ijazah insinyur itu keluaran lama entah kapan karena belum menemukan contoh ijazahnya.
Ijazah Joko Widodo dari UGM (1985) menuliskan “sarjana kehutanan”. Memang akan dianggap aneh jika pembawa acara menyebutkan, “Presiden Republik Indonesia Bapak Haji Sarjana Kehutanan Joko…”