Hal yang paling merepotkan di TPS saat pemilu kemarin (14/2/2024) adalah surat suara. Dalam hal apa? Desain. Paling simpel dan cepat dihitung adalah surat suara capres. Misalnya cuma dua kandidat akan lebih simpel lagi, begitu pun penghitungan suaranya.
Kita tahu ada lima surat suara. Yakni untuk pilpres, DPD, DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kota atau kabupaten. Paling tebal adalah yang terakhir, karena ukurannya besar, memuat tabel untuk 18 partai berikut nama caleg.
Kotak suara DPRD lekas penuh, petugas KPPS harus mendorong terus ke kotak suara lalu menggoyangkan kotak seperti kaleng kerupuk yang berjendela kaca itu.
Kembali ke desain surat suara, inti masalah jumlah lipatan dan warna pembeda. Banyak pencoblos tak telaten melipat ulang seperti semula sehingga menyulitkan identifikasi jenis surat. Bagian luar kertas suara yang berwarna putih itu yang lebih terlihat.
Saya tidak tahu apakah KPU berkonsultasi dengan kalangan profesional grafis, misalnya dari ADGI. Tak hanya dalam surat suara tetapi juga aneka kertas tabel penghitungan suara dan sekian macam amplop cokelat yang mirip semua.
Kalau soal ikon partai, dengan merujuk lambang partai, ah sudahlah. Memang tak semua partai membayangkan lambang sebagai ikon kecil seperti kebutuhan media sosial versi layar ponsel.
Lalu? Ini sebagian hal yang saya lihat selain soal tadi.
- Banyak pemilih mengeluhkan pencoblosan tidak praktis karena format surat suara, jumlah kotak suara, dan jumlah partai serta kandidat, namun di sini saya tak mengomentari latar masalah yang merupakan hasil proses politik
- Umumnya lansia kerepotan dengan soal lipatan kertas suara bila dibandingkan lebar bilik
- Sejumlah pemilih membuka lebar lipatan sampai menyembul ke luar bilik untuk menyigi kandidat sehingga dikomentari, “Kayak baca koran aja!”
- Jika menyangkut kandidat, dari bilik suara ada saja yang ngedumel, “Kagak ada yang kenal…”
- Selalu ada gurauan pemilih karena tak kenal kandidat, yang penting pilihlah yang ganteng dan cantik, atau memilih sosok sudah dikenal, maka untuk DPD Jabar di TPS saya banyak yang memilih Komeng
- Tabulasi plano untuk 18 partai plus dua lembar berisi daftar caleg itu merepotkan bagi TPS bertenda karena membutuhkan meja panjang dan atau bidang tempel, apalagi ditambah hujan dan angin
- Kesalahan administrasi, misalnya kekeliruan penyediaan formulir pelaporan TPS, yang mestinya berisi senarai Dapil A tetapi berisi Dapil B, tak dapat segera diatasi karena beberapa petugas pemilihan tingkat kelurahan, yang berwenang mengatasi masalah, tidak dapat dihubungi, ponsel mereka mati hingga selewat fajar
Lho, lalu mana foto contoh masalah dalam TPS, bukankah blog ini sering memuat foto laporan?
Saya secara sadar tak membawa ponsel ke TPS karena saya tak ingin diganggu aneka pesan maupun godaan memotret. Selama hari pencoblosan hingga esok malamnya, ponsel saya tetap mati.
Kenapa? Saya adalah anggota KPPS, berkerja di TPS depan rumah. Saat pencoblosan, tugas saya adalah mengawasi dan memandu pencemplungan surat suara ke kotak.
Setelah urusan coblosan selesai, saya ikut penghitungan suara yang melelahkan dari sisi administrasi terutama untuk caleg.
Saya berdiri merentangkan semua lembar kertas suara, sekitar 900 lembar, memastikan lubang sah dan tidak sah di depan pengawas dan saksi, sejak siang hingga pagi hari berikutnya. Itu pun diselingi menandatangani aneka berkas.
Untuk membuka lipatan, membacakan pilihan, dan melipat kertas besar tentu dilakukan petugas lain, lebih dari seorang.
Satu insiden kecil yang saya ingat: ada balita mendorong meja tinta, saat ibunya sedang mencoblos dalam bilik, sehingga saya berusaha menyelamatkan tinta agar tak tumpah semua. Akibatnya, beberapa jari kiri saya bernoda ungu seolah-olah sudah mencoblos. Wah, gak bahaya, tah?
Lalu seorang anak muda cekatan, anggota KPPS, segera memutuskan saya harus mencoblos saat itu juga. Jika mencoblos belakangan, saya bisa dikira mencoblos dua kali. Terlebih dahulu dia memanggil saksi dari partai, menanyakan insiden tinta. Para saksi mengiakan.
Tadi malam saya menerima pembagian honorarium Rp1,1 juta, dengan menunjukkan NPWP, setelah bekerja dari pagi ke pagi. Banyak KPPS yang begitu. Alhamdulillah tak ada kecelakaan medis di TPS kami.
9 Comments
Saya setuju dengan Paman, kode warna yang digunakan kemarin perlu waktu beberapa saat agar bisa dipahami oleh pemilih karena adanya warna merah yang terlalu menonjol.
Untungnya di TPS saya ada petugas yang memandu (dan memastikan) kertas suara dimasukkan ke kotak yang sesuai. Mungkin di TPS-TPS lain juga begitu,
Nah, petugas pemandu di TPS kami ya saya ๐
untuk luar negeri, “untungnya” cuma ada 2 surat suara. pas surat suara caleg, saya kerepotan membukanya..
tapi kalo membandingkan dengan contoh surat suara pemilihan legislatif Jerman, rasanya kertas suara Indonesia masih mendingan, paman..
contoh surat suara yang paling lebar adalah surat suara legislatif Bavaria https://www.researchgate.net/figure/Ballot-paper-used-in-German-local-election_fig1_221222376
Weleh ruwet ya di Jerman. Mereka pake ballot kan?
Untunglah๐ saya tak merasakan kerepotan, keluhan, termasuk keluhan tentang kandidat maupun partai yang tidak kita kenal, dan lain-lain. Karena saya tidak ke TPS.
Tetangga saya memilih golput karena sudah tahu hasilnya, dibisiki kalangan aparat keamanan, padahal dia dan keluarganya sudah bertekad bulat memilih bukan 02.
BTW saat coblosan saya juga nulis tentang pilpres lho, Paman๐
https://wp.me/p5AtE-201
๐๐