Merek garam dapur dalam kemasan yang tersohor adalah cap Kapal. Tetapi manakah cap Kapal yang asli, saya tak tahu. Ada banyak varian merek Kapal untuk garam. Ini ciri khas bisnis tak sehat: orang bikin merek memiripkan diri dengan yang sudah kondang, untuk mengecoh konsumen. Kemarin sore di warung saya beroleh garam cap Kapal Terbang.
Kalau dibilang tidak kreatif, pelakunya malah tak terima. Mereka merasa sangat kreatif karena punya jalan pintas dalam membangun jenama: jangan pakai nama baru yang belum dikenal karena sulit laku. Kebingungan konsumen adalah peluang. Namanya juga pengusaha semprul tipis malu.
Ketika saya menanya pemilik warung Madura, kenapa garamnya kapal terbang bukan kapal laut, dia jawab mungkin kapalnya karam. Di warung itu saya dulu pernah mendapatkan cap kapal laut, saya lupa kapal layar atau kapal motor nirlayar. Di warung lain saya mendapatkan cap Perahu Kuno. Mungkin kelak setelah dia jual cap kapal laut lagi, dan saya menagih cap kapal terbang, jawabannya si kapal terbang terlalu jauh dan tinggi, tidak kembali.
Baiklah, kita tinggalkan persoalan merek garam. Itu masalah klasik. Kini saya membahas soal kebahasaan. Istilah pesawat terbang, sering diringkas menjadi pesawat, akhirnya lebih laku ketimbang kapal terbang yang terasa arkais. Saya sih tetap menggunakan istilah itu namun tak kerap amat.
Saya menduga istilah kapal terbang muncul karena moda transportasi jarak jauh, harus menyeberangi laut, antarbenua pula, dahulu hanya ada kapal. Maka ketika ada alat angkut yang bisa terbang dinamai kapal terbang — tetapi istilah ini tak memunculkan sebutan tandingan kapal berenang, untuk menemani kapal selam.
Kalau kapal udara? Itu juga kapal terbang. KBBI mengakui. Namun airship dalam bahasa Inggris (Jerman: luftschiff) setahu saya lebih merujuk ke pesawat balon semacam Zeppelin. Mungkin kita menyebut kapal udara dengan menerjemahkan bahasa Belanda: luchtschip. Lucht itu udara dalam arti angkasa, dan schip adalah kapal.
Adapun Orang Jawa lawas mengenal istilah montor mabur. Montor itu mobil, sedangkan sepeda motor adalah pitmontor atau montor udhug. Namun dalam perjalanan waktu sejak akhir 1970-an banyak orang Jawa yang menyebut sepeda motor itu motor, meniru orang Jakarta. Kalau mobil? Ya mobil¹. Maka montor mabur, atau montor miber², adalah mobil terbang.
Orang Jatim dahulu menyebut montor mabur itu montor muluk — dilafalkan “mo-lok” dengan “o” seperti pada “soto”. Artinya mobil terbang. Muluk itu terbang melayang, tinggi. Maka untuk layang-layang diterapkan kata muluk dan mululaké — ada juga yang menyebut ngulukaké.
Kalau istilah pesawat terbang? Lain kali saja. Isi pos ini sudah terlalu panjang.
¹) Kemudian selain menyingkat sepeda motor menjadi motor, sebagian orang Jawa sejak awal 1980-an juga menyebutnya “kendaraan”, karena tanpa tambahan “bermotor” pun sudah dipahami sebagai sepeda motor — padahal kendaraan bermotor itu menyangkut mobil dan sepeda motor, tetapi jetski mungkin tak termasuk
²) Salah satu gambar karya Masmundari dalam damar kurung (lampion) dahulu seingat saya ada montor miber
3 Comments
(((Mungkin kapalnya karam)))
BTW dahulu kala sering dengar baito muluk yang, katanya, berarti kapal terbang. Tapi barusan saya tanyakan ke Tuan Google tiada ada jawabnya.
Kok saya baru dengar kata baito muluk ya. Setahu saya baita yang dilafalkan baito itu berarti perahu.
Arsip di Google, memang baita/baito berarti perahu. Mungkin orang yang pakai istilah baito muluk, menyamakan perahu dengan kapal (kapal muluk).
Dahulu kala ada saya dengar juga kata baito colot, maksudnya sepeda motor trail.😁 Saya cek di Google nihil. Mungkin orang-orang yang sebut baito colot (dan baito muluk) itu hanya gojek.