Pagi hangat empat ibu berjalan-jalan, dengan berbicara agak keras. Ketika mereka lewat depan rumah saya, selagi saya duduk di teras, saya dengar salah seorang berkata, “Dari dulu pantang buat perempuan nembak duluan, apalagi nggak ada hujan nggak ada angin ngajak si laki nikah. Pacaran aja belum.”
Saya pun membatin, “Masa sih?”
Bahasa Jawa mengenal ngunggah-unggahi, artinya wanita meminang pria, dari kata dasar unggah: naik, memanjat, mendaki bergerak ke atas. KBBI menyerap unggah untuk memadankan upload, sebagai antonim untuk unduh (download).
Bausastra Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta (1939) mencatat dalam kata kerja pasif, diunggah-unggahi berarti ditêkani ing wong wadon njaluk supaya diêpèk bojo. Artinya didatangi perempuan yang meminta diperistri. Dalam kalimat aktif versi saya: perempuan mendatang pria, meminta diperistri. Intinya, inisiatif dari perempuan.
https://twitter.com/chitarooo__/status/1719412012361634061?t=SineRdHFlXvAOgnSOO9YFg&s=19
Perihal inisiatif kaum hawa, dongeng Jawa tentang Andhé-andhé Lumut mengemasnya. Tiga perempuan mendatangi rumah Mas Andhé, dengan menyeberangi sungai saat banjir, untuk diperistri. Namun ada catatan: tersebab si pria buka lowongan.
Sesuai konteks zaman, dulu tak ada kisah wanita mengajukan pinta untuk dipacari atau hidup bersama apalagi meminta dibuahi — bahkan siap menjadi orangtua tunggal — karena perempuan hanya properti, tiada kuasa terhadap diri sendiri. Meminta untuk dinikahi, apalagi belum kenal, meskipun dalam khazanah tuturan lama praktik itu sudah ada, dianggap sangat berani.
@gendulbotol
Perempuan matang ingin mempersuami pemuda. Masa sih nggak boleh? #asmara #cinta
—
Istri. Memperistri. Diperistri. Itu kata yang lumrah. Padahal bahasa Indonesia, dalam KBBI, mengenal mempersuami. Namun kata itu jarang didengar maupun tertulis dalam tuturan. Padahal mestinya memperistri dan mempersuami itu setara, bukan?
Memang sih norma atas nama apa pun tak menenggang perempuan menikahi pria. Dalam tuturan sudah lumrah istilah “mengambil istri”, tetapi kurang lazim “mengambil suami”. Dalam setiap ritual pernikahan, sebagai peresmian lembaga perkawinan, laki-laki berposisi sentral dengan peran aktif.
Maka jika menyangkut ngunggah-unggahi, adegan auditif dalam kaset lawakan Jawa Basiyo, Dadung Kepuntir, itu menarik: seorang janda, ibu dari serang putri remaja menjelang dewasa, mengajak seorang pria muda lajang menikah.
Dalam kehidupan, ngunggah-unggahi kadang diprasangkakan pada pasangan yang istrinya jauh lebih tua. Tentu ini hanya dugaan, bahkan tuduhan, karena orang lain tak paham duduk maupun berdiri soal. Dua teman saya saat mahasiswa menikah dengan induk semang.
Teman pertama menikah dengan seorang ibu dari dua putra remaja yang setelah punya bapak baru baru tiga tahun bekerja, anaknya minta sepeda motor gres, padahal saat itu kredit motor belum mudah. Teman kedua menikah saat dia memasuki semester dua.
Teman ibu saya, jauh lebih muda, pada usia likuran putus dari cowoknya karena si cowok menikahi ibunya. Akhirnya mbokayu itu beroleh suami Belanda.
Apakah semua itu karena ngunggah-unggahi? Belum tentu. Tetapi sebagian orang mengandaikan demikian, padahal benar atau tidak mereka tidak dalam posisi dirugikan maupun diuntungkan.
¬ Ilustrasi dihasilkan oleh kecerdasan artifisial