CD tinggal kenangan, bahkan nama panjangnya pun mungkin tak banyak yang peduli. Orang lebih ngeh VCD ketimbang CD.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Display CD KFC di depan toko, Bekasi Cyber Park

Dulu orang ngécé KFC yang merangkap label dan distributor rekaman musik dalam hal ini CD. Nyatanya, saat CD masih punya sisa pertahanan, musik jalur ayam goreng itu berjaya, ada pertunjukan segala. Ketika Aquarius Mahakam, tetangga KFC Bulungan, Jaksel, mulai surut, maka gerai si ayam goreng tepung itu masih pede menjual CD produksi sendiri.

Kini siapa peduli CD? Kepanjangan dari abreviasi CD pun mungkin tak semua orang ingat. Saya tak memutar CD lagi karena hi-fi saya sudah tak ada. Cukup pakai Spotify saja, lebih hemat, tak perlu melengkapi dengan Apple Music lagi.

Singkat kata, seperti banyak orang, saya sudah melupakan CD. Namun ada teman kuliah saya yang masih bersetia dengan CD, termasuk dalam mobilnya.

Tentang CD, saya menganggap cakram ini aneh. Bahwa dia kalah populer daripada kaset, tak perlu kita bahas mendalam. Saya sebut aneh karena penetrasi CD audio kalah dari VCD yang muncul kemudian. Di Harika Musik Pondokgede, Kobek, ada tulisan bahwa CD musik hanya berisi musik, tanpa gambar, karena bukan VCD.

Lalu muncullah DVD, berisi film legal maupun bajakan, sementara CD audio, di dalamnya termasuk SACD, apalagi DVD audio, menjadi wilayah asing. Dunia cakram berkilau dalam musik tak merasuk dalam segenap lapisan masyarakat seperti halnya VCD dan DVD.

Masa jaya CD musik KFC

Maka toko-toko CD pun tumbang. CD kembali menjadi aneh, serupa mobil keluaran awal 1990-an yang masih memasang CD changer karena head unit untuk kaset dan radio. Bahkan mobil murah keluaran awal 2000-an pun masih membutuhkan CD changer. Saya pernah beli mobil mungil seken dari seorang ibu, CD changer ada di bawah jok kiri depan, untuk mengaksesnya dari jok belakang.

Lamunan tentang masa jaya CD itu muncul saat pekan lalu ke Bekas Cyber Park dan melihat promo CD lawas terpampang di depan KFC.

Masa jaya toko-toko CD

Lalu apa yang membuat CD audio lekas tamat? Menurut saya ada tiga hal.

Pertama: kemunculan musik terkompres macam MP3 dan sejenisnya.

Kedua: kemunculan duplikator CD murah akhir 1990-an.

Ketiga: sejak awal harga CD impor mahal, beda toko beda harga. Pasar terpaksa mengimpor karena perwakilan label luar di Indonesia tak memproduksi CD-nya. Sampai 2005, Aquarius Pondok Indah masih menjual sebagian CD dalam USD.

Duplikator bisa mengopi CD audio maupun berkas lain termasuk aplokasi. Versi personal, berupa CD writer drive dari Hewlett-Packard, saya coba untuk menyalin CD Yngwie Malmsteen, Concerto Suite for Electric Guitar and Orchestra in E-flat minor, Op. 1 (1998). Pada oktaf tinggi lengkingan gitar, dalam CD asli terdengar, tetapi dalam versi bajakan terputus, tak dapat disalin.

Album orkestral Yngwie Malmsteen

Dengan CD writer, mereka yang enggan memakai HD eksternal dapat memindahkan ratusan trek MP3. Head unit selepas awal 2000-an dapat membaca MP3. Sejumlah kompo stereo dari Korea dan Cina juga bisa. Selain mengunduh dari internet, CD berisi aneka MP3 ilegal juga dijual di lapak VCD/DVD. Maka CD audio tinggal kenangan, tetapi vinyl atau piringan hitam hidup lagi padahal harganya lebih mahal daripada CD di masa jaya.

Display CD KFC di depan toko, Bekasi Cyber Park

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *