Jam bundar pakai jarum. Memang mestinya jam di stasiun begitu, sampai sebutan untuk jam analog bundar, bahkan yang ditenagai baterai pun disebut jam stasiun. Itulah yang saya batin di Stasiun LRT Cikoko.
Saya pernah menulis, jam analog lebih memuaskan saya ketimbang jam digital yang hanya menampilkan angka. Mungkin ini soal kebiasaan. Ketika membayangkan pukul enam kurang lima menit yang tergambar secara fotografis dalam benak saya adalah posisi jarum jam. Maka ketika dulu mengenakan smartwatch, layar penampilnya saya setel bergaya analog.
Mengamati mesin jam bekerja itu menyenangkan. Sekian roda gigi, dan kadang melibatkan pegas, saling terhubung agar jarum menunjukan waktu yang terus bekerja. Saya kagum pada penemu hitungan jam (seksagesimal) dan terlebih pembuat jam.
Keasyikan yang sama juga didapatkan dari jendela intipan pada dasar arloji automatik. Bagian demi bagian bergerak konstan. Tentu dengan catatan jamnya tidak mati.
Dari arloji kuarsa pun, lubang intipan bisa lebih besar pada jam tangan bergaya telanjang dengar piringan terbuka. Mesin jam tampak dari luar.
4 Comments
Sudah bertahun-tahun — sejak sebelum pandemi — saya tidak pernah naik sepur sehingga enggak tahu apakah di tiga stasiun di kota saya, Solo, masih ada jam bundar seperti yang dijepret Paman itu. Stasiun Solo Balapan, Stasiun Purwosari, dan Stasiun Jebres.
Pun demikian di Stasiun Tugu di Yogyakarta, stasiun di luar Solo yang dulu sering saya datangi.
Masang di rumah aja, Lik Jun
Baiklah, Paman Antyo.
Saya juga. Gak tahu kondisinya sepur sekarang bagaimana. Terakhir 2019, Yogya – Jakarta