Peta masalah politik pilpres di benak setiap orang beragam, begitu pun kepentingannya. Pragmatisme jadi arus utama.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Diskusi politik lansia dalam forum informal warga RT

Akhirnya ada tiga forum kecil di rumah Pak Bendot Melotot. Forum pertama: para lansia, termasuk sahibulbait. Forum kedua: bapak muda, di teras, bisa merokok. Forum ketiga: tak dapat ruang, bersila dekat pintu, berisi Kamso dan dua bapak lain.

Forum lansia tak berbicara kencang. Eyang Rudi Sadel bicara biasa, tertata, tidak berapi-api, tetapi lama kelamaan forum lain hening. Bahkan tiga anggota forum teras mendekat pintu.

Eyang jarang bicara, hanya manggut-manggut dan tersenyum, tetapi setiap dia kebetulan bersedia ditanggap, semua orang mendengarkan. Dia dulu orang teater, masih sering meditasi.

Inti cerita: soal Jokowi. Urutannya semua orang sudah tahu, si presiden ingin jabatannya diulur tetapi meminjam mulut orang lain. Kenapa? “Gara-gara Covid-19 dua tahun banyak hal tertunda, tapi klo start lagi butuh paling tidak tiga tahun,” kata Eyang.

Karena niat tiga periode buntu, Jokowi ingin penggantinya dapat meneruskan. Saat itu jajak pendapat pra-deklarasi capres memberikan hasil tertinggi buat Ganjar, Bowo, dan Anies.

Untuk mengerem Anies, Bowo harus beroleh suara baru, sehingga misalnya pilpres harus dua periode, isinya Ganjar dan Anies.

“Siapa pun yang menang sesuai selera Jokowi,” kata Eyang.

Sepertiga lebih pendukung Bowo sudah cabut setelah dia masuk kabinet, pindah ke kubu Anies. Maka buat menambal kubu Bowo, dibidiklah potensi dari massa mengambang dan Jokowers.

“Kebetulan kepuasan terhadap Jokowi di atas delapan puluh persen, artinya pihak yang dulu nggak milih dia juga puas,” kata Eyang.

Lalu, “Maka saya dapat memahami motif Jokowi, termasuk soal MK dan Gibran.”

Toni Cengkih, yang baru sebulan jadi suami, menyergah, “Maaf, Eyang. Ini bukan isu baru. Intinya Eyang nggak ada ganjelan sama Jokowi dan Prabowo, kan?”

“Intinya saya masih diberati etika politik dan hukum Anwar Usman dengan segala implikasinya,” sahut Eyang.

Terdengar dengung bisik-bisik hadirin. Anton Bakiak berkata kepada Toni, “The same old song. Orang-orang tua tuh masih bahas soal etika putusan MK, lalu habis ini soal HAM penculikan, padahal debat capres udah jalan. Bisa jadi kalo dua putaran, itu Anies lawan Bowo. Ganjar cuman nyisir rambut.”

Toni menanggapi, “Orang kayak Eyang tuh nggak suka jalan ninja, masih lesehan di jalur politik mager tanpa move on. Mereka minoritas, nggak signifikan, nggak ngaruh.”

¬ Ilustrasi dasar dihasilkan oleh kecerdasan artifisial

1 thought on “Politik mager tanpa move on

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *