Suara mayoritas pemilih adalah suara Tuhan?

Penyakit utama demokrasi justru sisi lain dari sekeping koin: suara terbanyak juga bisa berarti pilihan sesat. Bisa salah pilih.

▒ Lama baca < 1 menit

Suara mayoritas pemilih adalah suara Tuhan?

Yudha Hahaha menghampiri Kamso dengan wajah serius, padahal biasanya cengengesan. “Ayah bilang, nanya aja Oom Kangmas,” kata cowok kelas 12 itu. Danu Batman, ayah Yudha, memanggil Kamso itu Kangmas. Anak-anaknya tinggal menambahkan Oom.

“Menurut Oom, emang demokrasi itu sistem terbaik?” tanya Yudha yang duduk di atas bangku beton di bawah pohon jambu.

“Kalo saya sih nyebutnya sistem yang masuk akal.”

“Emangnya ada garansi, demokrasi pasti menghasilkan pemimpin terbaik, Oom?”

“Nggak ada money back guarantee. Mayoritas orang bisa milih pemimpin yang salah, ya di OSIS, di koperasi, di RT, RW. Di kontes nyanyi juga bisa, dulu eliminasi ditentukan oleh SMS paling rendah.”

“Berarti suara mayoritas bisa merupakan suara sesat dong Oom!”

“Ya. Vox populi, Vox Dei? Suara rakyat suara Tuhan cuma slogan. Gitu juga sabda pemimpin adalah suara Tuhan. Yang ada, orang mengatasnamakan Tuhan untuk pembenar. Kayak seleb pisah atau cerai, di konpers bilang itu kehendak Tuhan, ucapan yang sama waktu jadian.”

“Hahaha. Berarti demokrasi yang kata Oom masuk akal itu punya cacat dong. Korut juga ngaku demokratis, kan?”

“Lha ya itu. Dulu Hitler jadi pemimpin juga pake jalur demokratis, dimulai dari partai Nazi. Di Filipina ada Marcos. Ada banyak varian penyimpangan dalam demokrasi.”

“Di zaman Bung Karno dan Soeharto juga?”

“Tanya guru sejarahmu, Yud.”

“Ada alternatif buat demokrasi nggak? Kalo nggak ada napa demokrasi dipertahankan, dipuja?”

“Tanya guru PPKn, Yud.”

“Huuuuu… Oom Kangmas nggak asyik. Ngeles mulu. Hahaha!”

¬ Ilustrasi dasar dihasilkan oleh kecerdasan artifisial

Tinggalkan Balasan