Mendambakan puing, semoga ada yang ambil pusing

Perlu platform, atau setidaknya kanal di medsos, untuk mempertemukan mupeng puing dan sebal puing. Atau cukup tagar?

▒ Lama baca < 1 menit

Proyek yang mendambakan sumbangan puing bangunan

Hal yang kerap saya jumpai adalah tulisan “puing gratis” di depan rumah yang sedang dibongkar. Kadang ditambahi teks “silakan ambil”. Kenapa pemilik bangunan maupun proyek begitu baik hati?

Sederhana jawabannya: menjual puing itu sukar, tetapi untuk membuangnya butuh biaya, dari tenaga bongkar muat, sewa truk, sampai uang rokok sopir — padahal si sopir antitembakau.

Pagi itu saya lihat tulisan yang berbeda dari kelaziman: pemilik bangunan mempersilahkan siapa pun membuang puing ke lahannya. Saya lihat, permukaan lahan di situ lebih rendah daripada jalan. Maka perlu urukan.

Saya kemudian membayangkan tumbu ketemu tutup. Ungkapan berbahasa Jawa itu berarti wadah bertemu tutup. Tumbu adalah wadah anyaman bumbu. Media sosial dapat mempertemukan dua kepentingan, yang butuh puing dan ingin mengenyahkan puing.

Namun jarak dapat menjadi kendala. Niat hati ambil pusing, artinya peduli, untuk menghibahkan puing, apa daya dia tinggal di Balaraja, Tangerang, Banten, dan pihak pendamba puing tinggal di Pondokmelati, Kobek, Jabar. Jarak kedua titik, antarkantor kecamatan dua wilayah tadi, adalah 69 kilometer.

Tinggalkan Balasan