Karena dijemput, akhirnya Kamso mau bergabung karena sejak pandemi belum pernah berjumpa beberapa kawan. Yang menjadi sahibulbait adalah Anwar Menawar. Dia sudah pensiun dari perusahaan konsultan, lalu buka kedai kopi. Sebelumnya dia jadi wartawan.
Ketika obrolan sampai ke soal anak, Anwar bercerita seperti orang prihatin. Inti soal: si bungsu cewek, Wangi, yang berselisih tujuh tahun dari kakaknya, terus mengeluh sekaligus heran dengan suasana kantor media daring tempat dia magang.
“Masa temannya nggak ada yang suka baca buku. Perpustakaan juga nggak ada. Redaksi nggak subscribe media dalam negeri maupun luar negeri,” Anwar seperti menggerutu.
“Lah semua bacaan kan di layar, War,” kata Dullah Basuki.
“Semua serbadigital,” timpa Mamat Tomat.
Anwar terus mengoceh, “Wangi ngeluh, kalo ada assignment tulisan yang harus liat buku diserahin ke dia. Gitu juga yang pake rujukan situs berita nggak gratis. Apa wartawan sekarang males baca ya, Mas Kam?”
Kamso yang dari tadi diam menyahut, “Itu nanya atau nuduh? Liat aja Historia, Tirto, dan Kompas.id sebagai misal. Dari tulisannya keliatan kalo wartawannya baca, War.”
Anwar menukas, kian bersemangat, “Kata Wangi, seniornya santai ngaku dulu bikin skripsi nggak baca buku, catatan kaki aja nyontek skripsi lain. Dosen pembimbing dan penguji nggak mempersoalkan. Lalu seniornya bilang, di media yang jadi dosen penguji itu pembaca. Kalo pembaca nggak rewel di medsos berarti konten baik-baik aja. De’remmah? Sarjana dan wartawan apa itu, Mas?”
¬ Gambar praolah: Freepik