Smartphone dengan banyak kebisaan membuat kita tergantung padanya. Screentime kita bisa panjang.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kacamata dan raket nyamuk

Sebelum ponsel makin bermasalah, yang terakhir baterai lekas habis tetapi pengecasan lama, aku sudah mencoba beberapa kali berpisah dari alat komunikasi itu.

Kebetulan belakangan kondisinya mendukung. Meskipun colokan USB tipe C sudah aku ganti, mengecas ponsel sambil menggunakannya itu membuat arus masuk dapat terputus. Teknisi ponsel juga menganjurkan begitu. Artinya selagi ponsel aku cas maka aku letakkan saja.

Artinya lagi aku dapat duduk saja, atau rebahan saja di sofa, tanpa memegang ponsel. Sesekali aku membaca kertas. Atau dari tablet karena aku tak punya Kindle.

Oh, bukannya tablet itu juga ponsel dalam bentuk besar? Ya. Sabak itu aku pakai untuk membaca dan menonton. Bukan untuk berkomunikasi. Agar aku tak terjerat distraksi. Si sabak juga kerap aku fungsikan sebagai pemutar musik dan radio.

Sebagai radio, belakangan aku sering hanya memanfaatkan sepiker pada tablet, bukan menghubungkannya dengan audio Bluetooth. Suara kecil. Noisy. Mirip radio transistor.

Tanpa ponsel di tangan saat do nothing berarti ada kesempatan melamun. Bagiku ini kemewahan. Serupa ketika aku masih bekerja dan sering naik angkutan umum, termasuk Transjakarta dan KRL: selama di dalam aku tak memegang ponsel. Hanya duduk, melihat keluar, mengamati sekitar, atau melamun. Kadang sampai tertidur.

Memang sih selalu muncul godaan. Aku pakai ponsel untuk memotret hal menarik dalam ruang angkutan. Tetapi setelah menjepret ya sudah. Ada yang hasilnya aku poskan untuk blog, misalnya orang makan Pop Mie dalam KRL dan petugas kebersihan bekerja. Atau orang mengisi TTS dalam bus.

Tetapi seberapa lama masing-masing dari kita berpisah dari ponsel, kecuali saat tidur dan tak menjadikan alat itu sebagai beker? Aku sangat jarang membawa ponsel ke kamar tidur.

Tadi subuh setelah mengambil ponsel dari meja, aku foto meja di sebelah sofa. Semalam aku berbaring di sofa, sambil menyetel Radio Matrix, Ponorogo, yang memutar wayang kulit sejak malam hingga pagi. Aku tak paham ceritanya karena terburu tertidur. Memang itu mauku. Kalau memutar Radio Retjo Buntung, Yogyakarta, yang 24 jam mengudara aku bisa terbangun karena ada cerita horor pada dini hari.

Kadang dari sepiker Bluetooth aku tidur ditemani musik lembut, sleeping music arahan algoritma. Kalau aku belum tertidur di sofa, aku bisa mengayunkan raket nyamuk. Tak ada AC dingin kering di ruang sofa, hanya kipas angin plafon, tetapi sepanjang gerahnya tak keterlaluan aku bisa nyaman. Dengan maupun tanpa ponsel.

Kekurangan smartphone adalah dia bisa melakukan banyak hal. Kita sulit berpisah darinya. Ya, kita. Pemantauan screentime oleh peranti membuat aku malu. Terlalu banyak waktu yang aku alokasikan untuknya.

5 thoughts on “Berjarak dari ponsel sampai tertidur

  1. Sudah lama ponsel tua saya “baterai cepat habis, tapi pengecasan lama” sehingga tiap hari mengecas rata-rata tiga kali, kadang lebih. Juga, menyetel kecerahan sangat rendah, terutama saat dalam ruamgan, demi menghemat setrum baterai.

    Saya juga merasa terlalu banyak mengalokasikan waktu untuk ponsel. Usaha mengendalikan ponsel (sebagai alat) belum berhasil. Masih banyak waktu terbuang untuk ponsel daripada, misalnya, bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, membersihkan mobil dan motor. Alokasi waktu pakai ponsel buat menulis untuk ngeblog pun masih jauh di bawah waktu untuk bersosmed.

    Memang angel, angeeeeel, kalau urusan ponsel pintar ini.

      1. Ponsel bodoh saya punya tapi ya hanya untuk serep. Yang utama ya tetap saja ponsel pinter itu.

        BTW saya maunya ngugemi pernyataan lawas ini : ponsel adalah alat, manusialah pengendalinya, tapi ternyata sampai hari ini saya sebagai manusia tak mampu mengendalikan ponsel sebagai alat. Tampaknya saya harus menerima kenyataan tak bisa mengendalikan, sehingga ya sudah begini saja nggak apa-apa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *