Tantangan media berita makin besar untuk menyajikan foto yang kuat. Justru karena publik sudah diserbu aneka gambar bertopik sama.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Anggota DPR sesuai rapat pengesahan RUU menjadi UU

Koran di atas lantai teras belakang itu menampakkan foto yang saya lupa apakah pernah melihatnya. Koran yang menjadi alas itu Kompas edisi Jumat 8 Juli 2022. Di mata saya, yang melihatnya tanpa kacamata, foto itu indah, menjadi pemanis halaman, menyedot perhatian saya sehingga saya membungkuk untuk membacanya, kemudian mengambil ponsel untuk memotretnya.

Foto yang itu indah, tetapi tanpa judul dan kapsi dia hanya menjadi gambar pengobat kepenatan mata terhadap teks. Judul foto berita itu “Rapat Paripurna DPR Sahkan RUU Pemasyarakatan”.

Lalu kapsi fotonya, “Para anggota DPR meninggalkan ruangan setelah Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/7/2022). Rapat paripurna ini antara lain berisi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan menjadi undang-undang.”

Pewarta foto yang membekukan gerak orang-orang menuruni tangga ini adalah Rony Ariyanto Nugroho, yang tempo hari memotret tersangka rasuah menaiki tangga di Gedung KPK pada dini hari.

Lalu apa masalah foto anggota DPR turun tangga ini? Tidak ada. Namun saya punya catatan.

  • Dalam era kejayaan koran, tanpa kehadiran banyak stasiun televisi dan situs berita yang dapat diakses melalui ponsel, foto macam ini tidak menarik sebagai warta, karena kurang bercerita, hanya indah sebagai foto
  • Namun dalam era koran kertas kian terpinggirkan, foto berita macam ini di halaman dalam justru menjadi penghibur mata, karena foto dan video lain suasana persidangan sudah dilihat khalayak di televisi maupun situs berita — termasuk versi daring koran Kompas
  • Kemewahan visual yang dapat dihadirkan oleh media berita genah adalah infografik, gambar ilustrasi dengan pelbagai teknik, dan foto jurnalistik
  • Saya sebut media genah dalam arti konten visual tak asal memenuhi tuntutan teknis dasbor CMS (content management system) karena tulisan tanpa gambar tidak dapat diklik untuk terbit, padahal pacuan tenggat daring sangat ketat

Baiklah, mari berbelok topik tetapi masih tentang foto kegiatan parlemen. Adegan macam apa yang paling melekat dalam benak Anda tentang suasana rapat wakil rakyat?

Tata interior ruang sidang, meja pemimpin rapat, cara duduk anggota dan pejabat terundang, dan monitor besar, sudah sering Anda lihat. Lama kelamaan Anda bosan. Namun apapun suasananya, itu semua adalah dokumentasi bernilai sejarah. Sebagai berita, foto-foto tersebut lengkap unsur 5W1H-nya. Pengecualian berlaku untuk foto ilustrasi yang hanya menyebutkan nama si legislator maupun menteri.

Anggota DPR tampak duduk tertidur tetapi membela diri cuma memejamkan mata sesaat dengan punggung bersandar? Klise dan sudah lazim. Foto sebagian kursi kosong, padahal mungkin sudah memenuhi kuorum, pun sudah lumrah. Kita boleh jemu namun foto-foto macam itu tetap perlu.

Akan tetapi sesebal apapun kita terhadap anggota DPR, bahkan mungkin pewarta foto sering menguap tetapi kalau meleng dan terlalu asyik melamun bisa kehilangan momen, bersikap adil tetap harus. Siapa yang harus adil? Media. Lihat foto berikut adalah ini dengan kapsinya.

Anggota DPR duduk dikelilingi kursi kosong

Tanpa membaca kapsi, kita dapat tergelincir untuk terburu-buru menghakimi bahwa foto berita dalam Kompas.id edisi Selasa 3 Oktober 2003 itu adalah tentang anggota DPR mangkir rapat.

Anggota DPR duduk dikelilingi kursi kosong

Ketidaksukaan kita kepada pihak mana pun dapat menggiring kita untuk berlaku zalim, lawan kata dari adil. Termasuk terhadap para bakal capres. Di situlah media harus objektif, adil, membingkaikan konteks. Termasuk dalam foto berita. Kalau tidak begitu, media berita tak beda dari penyebar misinformasi dan disinformasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *