Mendapati sirop dalam botol ini saya pun tersenyum, teringat dua hal. Pertama: kalau saya sebut setrup, generasi anak saya mungkin tak tahu. Kedua: Orson. Apakah gerangan itu?
Moral cerita setrup dan Orson sama, ada dalam pelbagai bahasa. Suatu kata bisa lenyap, padahal ada yang tercatat dalam kamus, karena tak pernah diucapkan. Ada saja penyebabnya sehingga suatu kata akhirnya tak laku.
Adapun dalam perkara Orson, karena menyangkut jenama sirop yang sudah lenyap, akhirnya sebagai kata pun tersingkir. Memang dalam bisnis di Indonesia ada Orson, namun bukan sirop melainkan perusahaan manufaktur maklun. Sedangkan dalam daftar BPOM, sirop Orson tidak ada. Ada merek Orson namun untuk produk berlainan.
Soal Orson pernah mencuat dalam canda gurau di media sosial pada awal 2013 karena polisi. Lho?
Saat membahas dugaan penyebab kecelakaan lalu lintas, yaitu miras dalam pesta, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto berkelakar, “Ya, masa malam tahun baru minumnya (sirup) ABC atau Orson?”
Publik yang tak kenal Orson segera paham bahwa Orson adalah sirop sebangsa ABC. Saya belum mencari info, jenama sirop yang melekat di benak konsumen nasional selain ABC dan Marjan itu apa saja. Tjampolay? Saya belum tahu apakah distribusinya merata di Indonesia.
Branding bukan hal mudah, sejak pembentukan hingga perawatan. Ketika suatu produk kuat lenyap dari pasar, tak serta-merta namanya terhapus dari benak khalayak. Itu pun dengan catatan: khalayak yang mana? Orson menjadi contoh.
Bahasawan tak mencatat apa yang ada dalam benak, kerana sulit, tetapi peka terhadap apa yang terucapkan secara lisan maupun tertulis dalam kehidupan masyarakat.
Artinya ucapan dan pilihan kata tersebut aktual, mengemuka, bukan terkatakan dalam catatan pribadi yang terkunci. Semua teks dalam masyarakat, dan kini terutama dalam media sosial, adalah ladang arsip kebahasaan yang tambun.
Bahasa merupakan alat kesadaran. Pendapat yang laku dikutip adalah dari Ludwig Wittgenstein: batas bahasaku adalah batas duniaku.
7 Comments
Setrup dan Orson, arkais. ๐
Tjampolay dan Kawista di Solo hanya ada tersedia di satu-dua toko. Bahkan awal bulan lalu pihak toko bilang ke saya bahwa stok Kawista tinggal satu karton (12 botol) dan tidak akan ada lagi karena pengiriman dihentikan oleh pihak distributor dari luar kota.
Ngombe es setrup mirip limun.
Mbayar seringgit weruh langit, kata wong lawas dari Solo.
Pasti wonge luwih lawas tinimbang aku….
Memang piyantun lami. Katanya, dulu beli sebotol eh segelas es setrup yang disebut limun padahal tanpa soda itu minumnya dengan menenggak sampai mendongak supaya tandas.
Karena mendongak maka melihat langit
Selamat pagi paman, semoga sehatยฒ selalu ๐๐ป
Perihal sirop Tjampolay (juga sirop Kawista) saya baru tahu di sekitar tahun 90an, dibawakan dari Cirebon.
Pada saat itu tidak mudah menemukan dua sirop itu di Jakarta.
Belakangan kemudian kedua sirop tersebut bisa dibeli di salah satu Rumah Makan yang menjual oleh-oleh di kawasan Kebayoran Baru.
Sementara sirop lainnya yang saya ingat adalah Sarangsari, semasa kecil dulu gambar dalam sirop tersebut menakutkan untuk saya.
Selamat siang paman, semoga sehatยฒ selalu ๐๐ป
Perihal sirop Tjampolay (juga sirop Kawista) saya baru tahu di sekitar tahun 90an, dibawakan dari Cirebon.
Pada saat itu tidak mudah menemukan dua sirop itu di Jakarta.
Belakangan kemudian kedua sirop tersebut bisa dibeli di salah satu Rumah Makan yang menjual oleh-oleh di kawasan Kebayoran Baru.
Sementara sirop lainnya yang saya ingat adalah Sarangsari, semasa kecil dulu gambar dalam sirop tersebut menakutkan untuk saya.
Tjampolay! Karangsari! Klasik. ๐
Abad lalu saya selalu beli Tjampolay di koperasi perusahaan, di Palmerah. Memang sulit memperolehnya sebelum ada pasar daring. Kalau di rumah makan Nusa Indah, Jl. Ahmad Dahlan, sejak dulu memang banyak produk pelbagai daerah. Kebetulan saya pernah tujuh tahun berkantor dekat sana, di Jalan Langsat.