Sudah banyak cerita seputar riwayat Blok M, Jakarta, di media berita. Maka di sini saya tak mengulangi versi Kompas. Sisi historis Blok M dikemas sebagai infografik besar, sehalaman, dalam versi cetak. Lalu dengan tuturan teks pelengkap dalam versi web dan aplikasi.
Sajian nostalgik termaksud itu komplet, dengan rujukan yang jelas. Klop bagi yang mengalami kejayaan Blok M — artinya generasi tua. Bermanfaat bagi anak dan cucu dari generasi tua untuk memahami sejarah. Siapa tahu mereka mendapatkan tugas dari sekolah untuk membahas Blok M.
Lho bukannya bahan macam itu banyak, juga berupa video? Makin banyak makin bagus. Akan saling melengkapi. Tetapi untuk versi media berita, sejauh saya tahu cerita tentang aspek kesejarahan Blok M yang bagus dari Kompas.
Maka saya berpikir kenapa tak semua mau melakukannya, terutama media berita berbasis daerah?
Pertanyaan ini bisa disanggah, bukan berupa jawaban melainkan koreksi: banyak halaman depan media daring berbasis daerah ketika ditengok isinya berita nasional. Apalagi media daerah yang tergabung dalam jaringan nasional.
Oh, jika benar begitu baiklah. Tetapi dengan konten yang Jakarta-sentris pun nyatanya tetap ada konten lokal. Kini dalam era visual, berupa gambar diam maupun bergerak (termasuk video), mestinya media lokal tak hanya berpejal teks untuk topik yang mereka kuasai.
Saya membayangkan ada paket komplet, tak hanya infografik dah video cerita maupun videografik tetapi juga konten interaktif berbasis skrip dan HTML.
Katakanlah media berita yang berbasis di Semarang bisa bercerita tentang Dhugdhèran dalam paket lengkap, bukan cuma teks panjang ala koran. Media di Yogyakarta membahas Sasana Hinggil Dwi Abad secara piktorial, yang videografiknya bisa tampil tunggal di YouTube.
Saya berani berimajinasi karena tenaga kreatif dari generasi milenial dan generasi Z berlimpah. Ada fotografer, videografer, infografer, ilustrator, periset, peliput, penulis, pilot drone, juru koding, dan entah apalagi yang sudah selayaknya dimiliki media berita.
Kalau narasi video tak perlu wajah presenter sih cukup memanfaatkan AI untuk mengonversi tulisan ke wicara dengan aplikasi premium.
Keinginan saya ini sangat berpeluang diuji dengan pertanyaan. Pertama: yang membayar mereka siapa?
Jawaban saya: ehm, lha selama ini yang menggaji para reporter, koresponden, kontributor, fotografer, dan infografer dan atau ilustrator serta editor itu siapa?
Kedua: adakah jaminan konten macam ini lebih mendatangkan trafik, jika dibandingkan menindaklanjuti konten media sosial, maupun tanpa tindak lanjut seperti saat beramai-ramai mengangkat berita keperjakaan dari konten yang sudah lampau?
Nah, untuk yang ini saya tak dapat menjawab. Memang sih, ada pergulatan tak berakhir dalam era media daring.
Arus di satu sisi mengutamakan hal sedang diperbincangkan orang, yang bisa dibuktikan dengan aneka metode masinal digital.
Lalu arus di sisi lain menginginkan konten yang tak semata mengabdi perbincangan sesaat di media sosial, bahkan belum diperbincangkan, semata demi kepuasan redaksi sesuai visi dan misi atau semboyan diri.
Sesungguhnya saya tak rela melihat ketimpangan dalam bisnis media. Ada yang bagus, dengan kualitas konten bagus termasuk foto, dan di seberangnya ada media yang laris namun isinya tidak bagus apalagi kualitas visualnya.
Nggak adil rasanya. Tetapi bagi penerbit media mungkin itu sudah adil. Bukankah mayoritas pembaca tak butuh konten bagus?