Kerupuk putih ala warung dalam kemasan cantik dan soal aksara Cina yang pernah dilarang di Indonesia.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kerupuk Bocah Tua dan aksara Cina Mandarin

Merek kerupuk putih ini mengingatkan saya kepada istilah botuna: bocah tua nakal. Ada dua hal, yaitu bocah tua dan nakal.

Sebutan bocah tua muncul karena ejekan oleh kaum perempuan, bahwa pria selalu telat dewasa, atau malah tak pernah dewasa, mereka hanya bertambah usia, dan sampai titik tertentu hanya bertambah tinggi badannya maupun ukuran sepatunya.

Kerupuk Bocah Tua dan aksara Cina Mandarin

Adapun sebutan nakal punya rentang nuansa makna. Bisa nakal seperti anak kecil, yaitu suka iseng, usil, dan suka mencoba. Namun di ujung yang lain bisa juga nakal dalam arti sangat dewasa, terutama menyangkut asmara dan ehm… seks. Lho katanya masih anak-anak kok suka nakal yang dewasa? Entahlah.

Kembali ke soal kerupuk, ada dua hal menarik. Pertama: desain kemasannya modern, cantik, dan keren — padahal dalam situsnya produsen menyebut barang ini “kerupuk putih ala warung”.

Kedua: inilah berkah reformasi pasca-Orde Baru, karena dalam bungkus bertribahasa itu selain Indonesia dan Inggris juga ada teks dalam aksara Cina. Saya tidak tahu itu bahasa Mandarin ataukah Kanton, atau malah Hokkian, karena saya belum memanfaatkan pemindai teks yang dapat menerjemahkan.

Aksara Cina Mandarin dalam bungkus kerupuk putih ala warung cap Bocah Tua

Pada era Soeharto berkuasa, tidak mungkin produk lokal menggunakan aksara Cina dalam kemasan. Iklan berbahasa Mandarin dalam koran South China Morning Post selalu diblok tinta hitam. Bahkan pemerintah, melalui badan intelijen, membuat koran khusus berbahasa Mandarin. Dalam badan intelijen tersebut ada seksi pengawasan Cina, melibatkan sarjana sastra Cina.

Kini kursus bahasa Mandarin terbuka lebar, bahkan di sekolah tertentu ada pelajaran bahasa Mandarin. Pengajar bahasa Mandarin bisa berlatar etnis apapun, termasuk yang berjilbab, seolah mengoreksi pemahaman sebagian kalangan yang mempertentangkan Cina dan Islam.

Bahkan pada masa Orde Baru, ada penolakan terhadap premis historis bahwa agama Islam di Jawa masuk melalui mubalig Cina. Pada 1971 Kejaksaan Agung melarang buku karya Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Bharata, 1968).

Alasannya? Mengganggu ketertiban umum. Lalu pada era reformasi, Gus Dur sebagai presiden mengakui dirinya keturunan Cina.

¬ Bukan posting berbayar maupun titipan

NPL: Koran Cina itu (2013)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *