Dari kejauhan, beberapa ikat kangkung itu tampak segar. Padahal sudah malam, selewat pukul delapan. Di luar pasar dan supermarket saya jarang melihat sayur segar pada malam hari. Di warung sayur rumahan di dekat saya kalau sudah siang dagangan tertentu sudah layu.
Kangkung ini tergelar di sebuah warung sayur rumahan, di pinggir jalan. Saya menduga itu hasil panen sore. Kangkung sebaiknya dipetik saat matahari terbit dan tenggelam.
Saya tanya seorang pria yang sedang menstarter motor di dekat rak sayur, apakah itu kangkung petikan senja. Dia pun tertawa, “Nggak tau, Pak. Tuh yang punya warung lagi masuk ke dalam.”
Tiga hari lalu, menjelang siang, saya ke warung sayur, hampir seratus meter dari rumah, membeli kangkung untuk dimasak rebus sambal lotis dengan telur rebus dalam cobek, ditemani tempe mlenuk goreng. Kangkungnya sudah melayu. Biasanya pemilik warung mengulak ke pasar saat subuh, mungkin hasil petikan senja sebelumnya.
Menjelang siang itu tiga ikat kangkung berharga Rp4.000. Stok tinggal enam ikat. Setelah direbus, untuk lauk berdua kangkung jadi sedikit. Ketika mentah, seikat kangkung tampak mekar karena gagang utama dan gagang kecil.
Tetapi malam itu saya tak membeli kangkung. Lha buat apa? Kalaupun dimasak esoknya pasti sudah layu kecuali mungkin direndam seperti bunga dalam vas. Lagi pula saya bukan penggemar kangkung, hanya doyan dalam arti menurut bahasa Jawa: tak menolak. Masih lebih bagus ketimbang tak tahu sama sekali bahwa kangkung bisa dimakan manusia.
6 Comments
Kangkung saya doyan tapi jarang makan. Kalau makan ya ditumis. Tapi sudah bertahun-tahun saya tidak maem tumis kangkung.
Nah perlu dicoba lagi. Tapi jadi Lik Jun itu enak ya, makanan tinggal milih, ndak usah bayar 🙈
Blogger yg aneh krn postingnya macam macam dari review buku, kajian media, urban lifestyle, seni budaya sampai kangkung di pasar, kayak gak ada fokus gak ada spesialisasi gak ada target market yg jelas 😑
Bisanya cuma gini Mas / Mbak 🙏😇
Kalau Anda bloger yang bagaimana?
Saya bloger embuh 🤣