Benar kata pepatah, makin banyak kita belajar makin sadarlah kita betapa sedikit yang kita ketahui.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Masih ada sawah di Rorotan, Jakut

Dua foto berita tentang sawah di tengah kemarau ini tak menarik bagi Anda. Namun saya terkesan. Foto pertama diambil di Rorotan, Jakut.

Kapsi foto: “Petani membajak sawah sebelum ditanami bibit padi di kawasan Rorotan, Jakarta Utara, Jumat (8/9/2023). Di tengah ancaman El Nino yang memicu kekeringan berkepanjangan, petani di Rorotan masih bisa menanam padi di sawah garapannya karena lancarnya suplai air dari Kanal Timur.”

Apa menariknya bagi saya? Jakarta terlalu luas. Selama ini saya kadung membayangkan di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, tidak ada sawah lagi. Ternyata masih.

Bukan berarti saya mengenal kawasan Cilincing dan Marunda lalu bablas ke Cakung dan Bekasi. Saya tak begitu kenal. Memang pernah sampai sana, likuran tahun silam, bahkan siang hari pernah merasa tak nyaman karena melewati jalan sepi yang kanan kirinya rawa-rawa kering dan ilalang tinggi.

Pada awal Reformasi saya membuat kliping berita kriminalitas dari koran tentang kawasan utara timur. Pembegalan terhadap tukang ojek di rute Marunda ke Bekasi tinggi. Saya tanya ke teman yang ngepos di polisi, jawabannya menyeramkan. Saya tanya ke beberapa sopir taksi, semua tak berani melayani pengantaran ke sana.

Celakanya citra buram itu memengaruhi persepsi saya tentang kawasan pantai di utara timur Jakarta. Lalu setelah melihat foto berita saya pun gumun.

Petani di Tangerang harus sewa pompa air Rp250.000

Adapun foto kedua membuat saya berhitung. Kalau harus menyewa pompa air selama empat hari, seorang petani harus merogoh Rp1 juta.

Kapsi foto: “Jepri (60-an) hanya bisa pasrah menyaksikan tanaman padinya puso akibat kekurangan air di kawasan Dangdang, Tangerang, Banten, Jumat (8/9/2023). Ia tak kuasa menyewa pompa air untuk mengairi sawahnya karena biaya operasional mencapai Rp 250.000 per hari.”

Ehm, di masa tua saya banyak hal tidak saya pahami. Benar kata pepatah, makin banyak kita belajar makin sadarlah kita betapa sedikit yang kita ketahui. Saya lupa apakah teks dalam notes saya saat remaja, yang saya salin dari majalah Intisari, itu ucapan Konfusius atau lainnya.

Ketika saya menulis ini, malam sepi, Radio Swara Kenanga Jogja mengumandangkan lagu entah, dengan petikan lirik “tak tanduri pari, jebul thukulé malah suket teki“. Aku tanami padi, ternyata yang tumbuh malah rumput teki.

Panas kerontang, kambing diberi minum di ember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *