Tidak ingin punya Rolex

Percuma punya barang mewah padahal lingkungan kita tak paham. Bisa dikira produk KW. Kalau punya barang top yang tak dikenal luas?

▒ Lama baca < 1 menit

Saya tidak ingin punya arloji Rolex

Melihat advertorial Rolex di koran Kompas senang juga. Menghibur. Mungkin seperti perempuan pada masa jaya media cetak membuka majalah gaya hidup, dari Dewi, Vogue, Cosmopolitan, Elle, hingga Harper’s Bazaar: banyak iklan tas. Atau kalau pria pesolek, dulu, membuka majalah GQ. Banyak produk untuk kaum adam.

Saya sengaja tak mencari tahu harga karena pasti muahalll dan memang bukan untuk saya. Namun ada dua desain yang membuat saya heran: arloji dengan piringan ngepop. Ini jatahnya Swatch yang abad lalu berslogankan “the others just watch“.

Saya tidak ingin punya arloji Rolex

Tentang Rolex dan jam mewah lainnya, saya teringat saat dulu melihat gambar arloji dalam majalah asing di perpustakaan — karena kantor saya melanggani aneka majalah luar, termasuk majalah fesyen — lalu ditanya seseorang, “Pengin ya, Mas?”

“Nggak,” jawab saya.

“Kalo dikasih?”

“Juga nggak.”

Saya tidak ingin punya arloji Rolex

Lho? Saya suka pergi sendiri sering naik angkutan umum, kalau mengenakan jam bagus akan mengundang penjambret dan penodong.

Teman saya tertawa. Alasan saya itu, katanya, “Tipikal orang kismin.” Lalu dia katakan, kalau memakai barang bagus jangan untuk harian, naik angkot dan ojek pula.

Saya tidak ingin punya arloji Rolex

Sebetulnya ada alasan lain. Misalnya pun saya beroleh hadiah, atau secara diam-diam punya duit banyak, sehingga bisa punya barang bagus, lingkungan sosial saya mengira itu barang KW.

Lebih sial lagi, barang saya berkelas premium, tetapi mereknya tidak dikenal oleh lingkungan sosial saya, padahal kalau saya haus pengakuan pasti rugi karena tak mengundang apresiasi.

Kalau punya duit secara diam-diam, saya sih memilih barang yang saya sukai dan tak memedulikan mereknya dikenal orang lain atau tidak. Misalnya membeli audio Naim. Andai kata circle saya yang datang ke rumah menyangka itu barang rakitan orang Condet, saya takkan mengoreksi untuk menjelaskan. Kesombongan level puncak adalah ogah menjelaskan kepada orang yang tak paham jenama dan harga.

Tetapi saya belum pernah menjadi orang kaya yang kentara maupun rahasia.

Saya tidak ingin punya arloji Rolex

Lalu soal Rolex, ada satu hal yang menarik dari jenama ini, yakni keterlibatannya dalam konservasi lingkungan. Dulu pernah ada serial iklan Rolex, yang menjadi model iklannya adalah tokoh lingkungan hidup.

Arloji Rp250.000 hingga Rp18 juta

Dari sini kata arloji bermula

Arloji murah, meriah, berfaedah

Memajukan tanggal arloji pada tanggal 1

Kenapa Rolex?

6 Comments

srinurillaf Kamis 27 Juli 2023 ~ 08.21 Reply

Wkwkwkwk ngakak yang bagian (di-parafrase-kan):
‘beli asli dikira KW’ dan ‘udah kadung beli yang mevvah tapi circle kagak ada yang paham, jadinya siyah siyah kalau diniatkan pamer’ 😅🤭

Jujur melihat foto fotonya, desain Rolex emang wow banget ya Mas 👍😊. Tapi harganya ampun dah ehehe.

Sudah ga pernah pake jam tangan lagi Mas. Soalnya waktu itu pas pake, lihat jam pun lewat HP. Jadi kayak gak kepake fungsi jam tangan seharusnya wkwkwk.

Pemilik Blog Kamis 27 Juli 2023 ~ 10.09 Reply

Betul. Pake hape sudah lengkap. Ada alarm segala. Plus reminder 😇

junianto Rabu 26 Juli 2023 ~ 20.49 Reply

Apa sih kriteria orang kaya yang kentara? Kalau kriteria orang kaya yang rahasia tentu nggak jelas — namanya juga rahasia.

Pemilik Blog Rabu 26 Juli 2023 ~ 22.22 Reply

Lha nggih niku, Den.
Yang hobi flexing belum tentu sekaya 100 pembayar pajak pribadi terbesar.

junianto Kamis 27 Juli 2023 ~ 07.10 Reply

Apalagi kalau objek flexing-nya cuma trail tua — itu pun trail tua prakarya.😂

Pemilik Blog Kamis 27 Juli 2023 ~ 10.04

Lho itu pun keren. Custom 👍💯

Tinggalkan Balasan