“Mau dibawa ke mana, Pak?” tanya seorang bapak setelah tahu saya membawa tabung berisi tikus hidup. Saya tak mau menyiksa apalagi membunuhnya. Urusan membuang bangkai tikus itu merepotkan.
“Di sana tuh, kan di lubang fondasi Pak Anu, pinggir got, ada sarang tikus. Mau saya balikin ke asramanya,” jawab saya.
Sudah lama, sekian bulan, tak ada tikus. Tadi malam saya mendengar suara berisik di luar dapur. Pasti tikus. Benar. Lalu saya pasang jebakan. Saya ambil sekeping roti gambang. Buat apa?
Yang separuh saya makan. Sisanya untuk umpan, saya masukkan ke tabung jebakan yang pintunya saya buka. Selewat tengah malam terdengar suara tutup terkatup dan suara tikus meronta akan membebaskan diri. Saya membiarkannya. Biar pagi esoknya dia saya ekstradisikan.
Bapak tadi menyarankan saya membuang tikus hidup ke kali. Saya menolak. Nanti si tikus mati di kali, jadi bangkai.
Dia bilang tidak akan mati. Tikus akan hanyut terbawa arus, sampai menemukan tempat untuk melompat ke darat.
Saya segera ke wot di atas kali. Tutup tabung saya buka. Si tikus melompat. Dia mendarat di atas batu, lalu meniti tonjolan karena air mendangkal saat kemarau. Dengan cepat dia memanjat tanggul lalu tertelan semak. Uh, gagal sudah skenario Bengawan Solo, mengalir sampai jauh…
Semoga dia tak kangen rumah saya. Tetapi bagaimana jika dia masuk ke rumah orang?
2 Comments
Apa boleh bikin, saya membunuh tikus setelah menjeratnya pakai lem.
Gak tega saya dan terlebih ya krn jijik dan repot sama bangkai. Ada tuh yang ngguyur tikus tangkapan dengan air mendidih