Ini pasti mangga seukuran kedondong yang dagingnya tipis, tak sebanding dengan ukuran pelok atau bijinya. Saya pernah mencicipi di rumah sebagai oleh-oleh dari gereja dari istri saya. Saya sebut sebagai mangga capek. Rasanya manis agak asam.
Saya teringat pengalaman mencicipi mangga yang hanya cocok dikenyut — atau dikenyot? — saat melihat salah satu dibaringkan di atas buk, di bawah pohon, di halaman gereja tadi pagi. Sebagian kulitnya menampakkan lebam parah. Mungkin bagian dalam sudah busuk. Pasti ada yang meletakkan di sana. Saya tak tahu mangga ini apa namanya. Yang pasti bukan sentulkenyut.
Mangga kecil yang lain bergeletakan secara acak. Rupanya mangga-mangga itu jatuh. Saya cek ke koster memang demikian.
Mangga matang berjatuhan. Berarti di atas banyak yang disisakan codot dan pemangsa lain — misalnya burung, tetapi saya tak tahu burung apa. Kalau luwak atau musang, apakah populasinya masih puluhan di area sekitar pohon?
Eh, saya lupa. Pohon buah bukan cuma di gereja. Di kampung sekitar juga masih ada. Boleh jadi buahnya lebih enak bagi pemangsa.