Seorang bekas wartawan, sudah lama sih keluar dari media, yang kemudian menjadi penulis lepas (bukan sebangsa ayam lepas), dari skrip untuk tontonan di TV hingga penerjemah dan “penulis hantu”, dan juga siaran pers dan konten web, mengeluh, “Nggak nyangka, jahat banget AI. Merampas pekerjaan banyak orang.”
Jahat? Oh.
Tetapi saya tak menyalahkan keluhan itu. Ketika automasi menggeser petugas loket gerbang masuk parkiran, karena kamera mengoper pekerjaan mengetikkan nomor pelat mobil, banyak orang merasa masih aman. Karena tak terancam. Termasuk saya. Menganggap itu bukan teknologi tinggi amir.
Begitu pula ketika loket gerbang tol tak lagi diisi orang, sehingga kita kehilangan kesempatan bertegur sapa pada loket ruas tol yang kurang bergegas, banyak dari kita masih merasa aman. Misalnya pun seluruh SPBU itu swalayan, banyak orang juga tetap tenang. Termasuk saya. Menganggap itu sesimpel bayar ojek pakai ponsel. Nggak canggih ampun.
Kawan saya itu prihatin membaca Tutur Visual Kompas.id pekan lalu, tentang ancaman AI terhadap pekerjaan di sektor tertentu.
Saya bergurau, beberapa tahun lalu jurnalis maupun pengisi konten yang membahas masa depan cerah penerapan AI dalam pekerjaan mungkin pura-pura tak sadar bahwa dirinya terancam. Bentuknya PHK, tetapi pangkal masalah adalah AI telah menggantikan pekerjaan mereka.
Jika orang bicara efisiensi dan produkvitas, disertai tuntutan akan kenyamanan dan kemudahan dalam pemanfaatan layanan, biasanya secara intrinsik terkandung pemakluman bahwa sejumlah pelaku pekerjaan akan tersingkir. Tentu dengan harapan dirinya tak termasuk. Setidaknya dalam gelombang awal.
Tetapi dalam dunia yang terbuka, dengan pergaulan antarbangsa dan aneka layanan yang seakan menafikan batas geografis administratif yang disebut kedaulatan, apakah teknologi dapat kita rem?
Debat di gardu RT menyimpulkan: teknologi tidak bisa direm, tetapi penerapannya bisa ditimbang. Eh, siapa yang menimbang?
2 Comments
kantor saya baru saja ini menerapkan aturan soal penggunaan AI dalam pekerjaan. beberapa isu yang disoroti adalah:
1. hasil yang dikerjakan AI harus selalu dicek, diverifikasi, sebelum digunakan.
2. dilarang memasukkan data pelanggan dan karyawan ke dalam prompt AI.
3. tidak menggunakan hasil AI (misal source code/gambar oalahan, dsb) karena terkait hak cipta.
kantor berencana menggunakan layanan penyedia AI ini, dengan kontrak dan aturan ketat yang tentu saja implikasi ke hukum dan perlindungan data.
Memang perlu moderasi dan kontrol. Dulu media tempat saya bekerja pakai robot penulis, konten hrs dicek, terutama berita, bukan bencana alam, cuaca, dan info pasar keuangan serta saham