Lagi dan lagi saya jumpai persinggungan alasan di satu pihak dan kegigihan di pihak lain. Jika menyangkut selebaran yang dibiarkan tergantung pada sebuah pintu gerbang, sampai kertas dalam plastik ada yang hancur, maka masalahnya ada pada saya: gegabah menghakimi tanpa tabayun.
Saya pernah menulis kasus serupa. Pada sebuah pintu pagar terdapat selebaran nan tercantelkan bertumpuk, ada yang dari sumber yang sama, lalu saya menyimpulkan penghuni rumah dan pemasang selebaran servis elektronik sama-sama tak peduli.
Maka siapa yang dirugikan, dan siapa pula yang diuntungkan, menjadi tilikan ganar namun sulit disebut sengkarut. Bagi orang lain, pintu gerbang itu tampak kotor. Layak dibilang merugikan tuan dan puan rumah.
Apakah kerugian di satu pihak berarti keuntungan di pihak lain? Belum tentu. Penghuni rumah tak memedulikan kertas selebaran. Dirinya pun tak merasa rumahnya dicemari.
Di sisi lain, sekian selebaran tergantung itu tak ada yang membaca. Namun hal itu bukan petaka bagi pemasang, yang berkeliling dari jalan ke jalan dalam kompleks lalu menyusuri labirin lorong demi lorong kampung, atas nama pemilik usaha karena dia diupah.
Membingungkan, memang. Seolah dua kepentingan jumbuh padahal tak berkelindan. Saling meniadakan pun bukan.
Dalam politik, apalagi saat pileg dan pilpres, pihak yang saling serang itu masih menghiraukan lawan. Tak mungkin saling menegasikan karena keberadaan seteru adalah afirmasi bagi pihak seberang.