Lama tak bepergian masuk kota membuat saya takjub. Jakarta terus berubah. Ya gedung, ya jalan.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Naik Transjakarta lagi setelah tiga tahun prei

Serasa menjadi Kabayan saba kota. Terakhir kali saya ke Terminal Bus Pinangranti, Jaktim, DKI, dari rumah saya di Kobek, Jabar, itu awal 2020 sebelum ada PPKM Covid-19. Setelah itu saya belum naik bus lagi, termasuk Transjakarta β€” ya, disingkat Tije; bukan Teje atau TJ, jas bikos kita suka keminggris, tee-jay is more keren.

Baru tiga hari lalu, sebelum Iduladha keesokan harinya, saya ke Pinangranti, yang jaraknya dari rumah secara antarkota antarprovinsi adalah tujuh kilometer. Dari sana saya akan naik Tije, menuju Stasiun Cawang, yang ternyata ikut Jaksel bukan Jaktim.

Dari rumah saya naik Gojek. Itu pengalaman bepergian tak sampai kesepuluh kalinya sejak pandemi memasung kehidupan sampai akhirnya mengendur dan dinyatakan usai. Saya naik Gojek lagi pun mulai Maret lalu, paling jauh lima kilometer.

Naik Transjakarta lagi setelah tiga tahun prei

Saya mencoba naik Tije tanpa Flazz, melainkan memakai Gopay, namun ternyata harus mengunduh dan memasang dua aplikasi, yakni Tije dan AstraPay. Ponsel lota saya pun kepayahan. Setiba di Pinangranti, kode QR saya tak laku karena sudah kedaluwarsa. Rp3.500 ongkos Tije pun melayang.

Lalu saya pun membeli karcis lagi. Namun pemindai pada portal sepinggang menolaknya. Layar KW saya kurang terang. Mbak Petugas memotret kode QR saya, kemudian dia secara manual membuka portal. Saya pun beroleh pengalaman baru.

Naik Transjakarta lagi setelah tiga tahun prei

Dalam enam menit Tije Koridor 9 jurusan Pluit, Jakut, pun tiba. Panjang rute itu sekitar 29 kilometer, melewati 26 halte. Semua penumpang bisa duduk. Di halte TMII penumpang bertambah. Banyak yang saya lihat selama perjalanan. Ada saja yang berubah dalam pemandangan kota selama tiga tahun. Saya merasa menjadi orang udik.

Memang, saya tinggal di pedalaman, ke arah tenggara dari Monas; bukan dari rute burung di udara, jarak tempuhnya 29 kilometer bermobil. Namun sebelum pandemi saya tak setertinggal ini.

Saat melihat gelang gantung untuk pegangan tangan penumpang yang berdiri saya membatin soal kesehatan. Berapa banyak orang yang sebelum pandemi sadar bahwa ring itu kotor sekali penuh bakteri?

Maka saya pun teringat pegangan dari pipa besi dalam bus Mayasari dan PPD, yang berkarat sekaligus berlumur lemak dari keringat tangan. Dulu banget, setiba di kantor saya langsung ke peturasan, untuk mencuci tangan di wastafel.

Naik Transjakarta lagi setelah tiga tahun prei

Angkutan massal adalah kebutuhan masyarakat modern. Kemarin sejak dari rumah saya sudah menghitung biaya perjalanan. Dua kali naik Tije berarti Rp7.000. Lalu naik KRL bolak-balik adalah Rp10.000. Total Rp17.000.

Saat masih bekerja di Jakpus, 2019, ongkos tol pergi pulang saja Rp60.000. Untunglah di kantor tak kena biaya parkir. Tetapi naik taksi dan Gocar atau Grab ya tetap bayar tol. Padahal jarak dari rumah ke gerbang tol Jatiwarna, Kobek, 3,5 kilometer. Dari gerbang ke jembatan Kali Sunter di atas jalan tol yang memisahkan wilayah DKI dan Jabar cuma 300 meter.

Dari Cawang saya akan ke Bogor untuk melayat. Yang belum saya hitung adalah ongkos empat kali ber-Gojek.

Ongkos naik Gojek antarprovinsi dari Jabar ke DKI

4 thoughts on “Naik Transjakarta lagi setelah tiga tahun prei

  1. dibandingkan ongkos transportasi di luar negeri, Indonesia termasuk murah. kecuali gojek/grab. pas mudik kemarin saya merasakan betul mahalnya transportasi grab/gojek ini. kalo dipikir-pikir, ongkos ini (apalagi yang rutin pake gojek/grab) berasa juga ya.. 😒

    menariknya, ongkos TJ ngga pernah naik sejak diluncurkan. sementara di Berlin, inflasi begitu terasa. pengaruh ke ongkos transportasi juga, paman.

    di Berlin, yang termasuk murah di Jerman, sekali naik ongkosnya 3,9€ (sekitar Rp62.500).. sebeluim inflasi, 2,9€..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *