Pagi tadi penyiar radio asyik membahas aneka resep masakan daging kurban — bukan daging korban, karena maknanya berbeda — Iduladha. Salah satunya nasi briyani. Oh, kemarin saya ditanya seseorang, “Yang bener itu briyani apa biryani sih?”
Kedua kata itu sering saya dengar dan baca. Tanpa data saya mengatakan bahwa yang lumrah padahal salah adalah briyani, bukan biryani. Kita mengenal kata dari mendengar dan membaca. Keduanya saling melengkapi.
Tempo hari seseorang, bukan pekerja media, menanya saya, kenapa banyak editor media daring tak peduli bahasa.
Saya jawab, “Nggak tau. Padahal kamus ada di hape. Segala jenis info ada di internet.”
Saya termasuk buruk dalam berbahasa, Indonesia maupun terlebih asing. Namun hingga tua saya sebisanya belajar. Bahasa Indonesia adalah bahasa saya, saya malu setiap ditanya orang asing yang dapat berbahasa Indonesia dengan rapi.
Maka saya teringat seorang pemimpin redaksi yang pada masa pra-KBBI daring membeli KBBI, satu buku untuk dua meja reporter yang bersebelahan. Dia simpulkan, buku kamus yang lecek ada di meja reporter yang bisa menulis dengan baik, dalam arti ringkas dan efektif namun secara kebahasaan benar.
Dalam era serbadaring saya pernah membaca skripsi dan tesis dengan bahasa yang buruk, salah eja bertebaran, padahal aplikasi pengolah kata makin pintar. Saya tak tahu bagaimana kualitas kebahasaan dosen pembimbing. Aneh juga, ada sarjana selalu menulis “dimana” dan “di jual”.
Sebelum marak robot AI saya pernah membaca karya tulis seorang joki untuk klien. Bahasa Indonesianya bagus. Kawan lain mencoba memeriksa kemungkinan plagiarisme. Hasilnya: tipis kemiripan, tulisannya autentik. Si joki yang pedro (pemuda drop out) itu bisa lebih tepat berbahasa. Dia juga yang membaca referensi, bukan si klien.
Jika menyangkut nama dan sebutan dalam bahasa asing kita bisa malu karena salah ucap dan tulis, seolah kurang terpelajar. Tetapi untuk bahasa Indonesia, cincai sajalah.
Seorang pekerja media pernah mengatakan, “Gitu aja kok repot. Pembaca nggak protes, malah ikutan tuh.” Dia termasuk yang ogah repot. Tetapi dia kerepotan ketika anaknya bertanya untuk mengerjakan PR. Jurus cincai pun dia simpan.
Nama asing dalam penulisan merepotkan penulis, sedangkan dalam penyebutan dapat menggelincirkan penyiar radio, televisi, dan pembawa acara.
Saya termasuk orang yang repot dalam lafal asing. Ucapan saya “service” dan “surface” terdengar sama di kuping orang lain — untunglah tidak untuk “cervix”. Namun dalam bahasa Indonesia dan bahasa ibu, saya sudah dapat berbeda lafal: “pengadilan” (Indonesia, berbunyi peng-a-dhil-an) dan “pengadilan” (Jawa, dengan “d” lunak). Pun saya sejak dulu dapat membedakan “peti” (Indonesia) dan “pethi” (Jawa).
Baiklah ini memang soal dialek. Bagi orang di media dengar hal ini bisa merepotkan. Jangankan nama asing, nama Indonesia saja dapat merepotkan juga bagi orang Indonesia: jo-ko wi-dho-dho atau jo-ko wi-do-do dengan “d” lunak? Orang non-Sunda dapat terpeleset saat menyebut Euis dan Endang, juga Ciumbeleuit, Cileungsi, dan peuyeum.
Di sisi lain, orang asing juga sering tergelincir saat menyebut nama benda maupun orang dalam bahasa Indonesia.
Lalu? Dalam membahas sepak bola, dari nama klub hingga pemain, kita sering kagok. Maka pegiat bahasa Jawa Paksi Raras Alit menulis, “Saya kasihan sama komentator bola itu. Berat betul pekerjaannya. Dituntut warganet harus poliglot selama 90 menit pertandingan.” (¬ “Keadilan Berbahasa Sejak dalam Lidah”, blog)
¬ Foto: Kamran Aydinov & Stocking — Freepik
4 Comments
Konten panjang yang bagus tentang bahasa.👍
Ngécé 🙈
Andai saya masih bekerja di media, pasti saya share konten Paman ini, dan konten-konten lain Paman bertopik bahasa dan media, ke grup WA kantor. Tenin lho ini.
🏃🏃🏃🏃🏃