Dulu banget ketika UHU memasarkan glue stick, atau lem batang kering, ingatan saya langsung ke deodorant stick. Tetapi ketika mendapati lem roll-on, ingatan tak ke deodoran. Begitu pula kini, setelah melihat lem stik segitiga yang mempermudah manuver perekatan.
Sebelum mengenal glue stick, persepsi saya tentang lem kertas selalu tentang pasta putih berbau menyengat. Waktu kecil saya hanya mengenal lem pabrik dari Tackol Jawa Kimia yang hingga kini masih dijual.
Untunglah kemudian saya mengenal lem basah pencet karena ATK bapak saya lengkap. Bapak senang melakukan kliping koran, termasuk artikelnya sendiri di koran karena dia adalah seorang dosen dan kolumnis.
Tentang lem kertas, saat kecil saya pernah memanfaatkan butir nasi yang oleh orang Jawa disebut upa (baca: upo) untuk menempelkan potongan gambar ke buku tulis. Teman sekolah saya juga melakukan hal serupa.
Bagaimana dengan lem stik kini? Dugaan saya tambah laku. Terutama dari jenis yang mengeklaim diri non-toxic alias tanpa bahan beracun. Pembelinya orang dewasa; bukan untuk membikin hasta karya tugas sekolah anaknya, melainkan mengelem papir sigaret saat melinting rokok.
Maklumlah harga papir yang sudah bergaris lem gom arab (misalnya Roll Bond), biasanya berbahan kayu akasia, itu lebih mahal daripada kertas tanpa lem. Lalu apakah non-toxic juga berarti food grade dan food-safe? Saya belum mencari tahu.
Menurut kalangan lintingers sih lem stik untuk prakarya itu meskipun non-toxic kalau sudah semalam akan pahit saat rokok dibakar. Maka selain untuk berhemat, sekalian demi rasa, ada pelaku tingwé yang membuat lem sendiri dari tepung kanji.
Oh kenapa tak memanfaatkan upa, apalagi dari ketan? Nggrenjel, terasa kasar, kata lintingers. Tak cocok untuk papir yang tipis. Oh, bukannya upa mestinya berjodoh dengan papir yang menyebut diri rice paper?
10 Comments
Oh iya, tentang upo, saya pernah menggunakannya untuk menempelkan perangko dan materai. Perangko sudah sangat lama sekali, materai belum lama banget masih saya lakukan.
Langkah darurat yang sip 👍
Saya beberapa kali menempelkan meterai untuk perjanjian kerja, bahkan saat pandemi, dengan double tape.
Lem Tackol, weh, sudah berapa tahun saya tidak melihatnya!
Sekarang lebih akrab dengan “lem G” yang bukan lem kertas itu.
Ternyata Tackol masih ada. Menarik itu buat konten media berita.
Bisa untuk ‘konten kreatif”.😁
Liputan yang bagus ya mewawancarai pengusaha si pemilik merek. Akan terkuak riwayat lem dan merek. Dan banyak lagi.
Itu di era kita, Paman.
Di era sekarang, konten kreatif tentang Tackol yang akan dipilih orang-orang media.
Oh gitu ya?
Lha konten kreatif dengan riset data, riset visual, motret pabrik, kan bisa?
Lha itu bukan “konten kreatif” versi mereka.🙈
Pokoknya kalo ramai di medsos baru ditulis 🤔