Wartawan veteran merasa media berita diabaikan, begitu pula pekerjanya. Lho bukannya semua terpulang ke korps jurnalis?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Nostalgila wartawan tua

Untuk pria berusia 66, Kang Poniman Jemawa (PJ) tampak sepuluh tahun lebih tua. Kalau bicara, dia ngos-ngosan, padahal sudah dua puluh tahun meninggalkan tembakau. Meskipun demikian ingatannya bagus. Gaya sok-sokan juga masih. “Oh, zaman,” keluhnya, di ruang tunggu layanan seluler.

Usai membahas hipertensi, diabetes, asam urat, dan masalah ginjal, dia bilang, “Untung aku udah nggak jadi wartawan, Kam.”

“Emang napa kalo masih, Kang?” tanya Kamso.

“Pasti makan ati mulu, Kam.”

Lalu seperti toren yang keran saluran buangnya dibuka mengalir deraslah nostalgia masa manis dan keluhan masa kini.

“Yang terakhir liat aja, Jokowi nggak cuma ngumpulin pemred tapi Youtuber. Emang sama, sederajat?” keluh PJ.

Kamso tersenyum. Menjadi pendengar yang baik. Kata PJ, berdasarkan laporan dari wartawan muda, orang-orang humas kini lebih peduli influencers.

“Terus apa keberatan Njenengan, Kang?”

“Wartawan udah nggak dianggap. Kalah sama seleb medsos yang nggak punya media, nggak paham jurnalistik, tapi ngetop.”

Kamso pun tertawa. Dia katakan, SBY dulu menjamu sejumlah influencers di Istana Cipanas. Belasan tahun silam, APM mengundang wartawan dan bloger dalam peluncuran mobil baru.

Lalu, “Tujuh tahun lalu, sekelompok wartawan otomotif protes karena APM mendahulukan para bintang di medsos dan hiburan dalam peluncuran mobil baru….”

Lantas PJ kembali ke lagu sebelumnya, betapa dulu wartawan itu disegani, sampai ada yang menyalahgunakan untuk lolos dari tilang dan minta fasilitas.

“Kang Pon dulu termasuk?”

“Orang normal harus bangga sama kerjaannya. Apalagi kalo ada power! Ekses itu normal.”

“Oh, ya? Wow!”

“Nggak usah sinis.”

“Sekarang yang punya power tuh robot sama seleb medsos, Kang.”

PJ baru akan buka mulut, loket memanggil nomornya.

¬ Gambar praolah: Unsplash

3 thoughts on “Wartawan sekarang tak ada artinya

  1. Tentang ekses, terkait tilang, apa boleh bikin, saya pun pernah memanfaatkan eh menyalahgunakan. Sekitar 10.tahun silam, saya naik motor dari rumah saya di Solo ke terminal, nanti dari terminal naik bus ke Yogya untuk ngantor. Belum sampai terminal ada razia (“mokmen/”momen”) sepeda motor. Motor saya tidak bermasalah tapi ternyata SIM saya mati sekian waktu (dan saya baru tahu saat kena razia itu). Saya pun bilang bahwa saya wartawan, dan minta “dibantu” karena sedang terburu-buru hendak bekerja di Yogya, dan berjanji sesegera mungkin mengurus perpanjangan masa berlaku SIM. Maka Pak Polisi, setelah melihat kartu pers saya, pun membantu saya dengan tanpa menilang….

    Tentang wartawan yang sekarang tidak disegani, apa boleh bikin juga, ya memang begitulah.

    1. Dulu saya menolak ketika teman-teman dari bagian nonredaksi minta kartu pers dengan alasan untuk memperlancar aneka urusan dinas maupun pribadi.

      Soal diuntungkan status, saya pernah pada suatu dini hari dicegat razia, geledah mobil buat periksa narkoba dan senjata. Saya ditanya, jam segitu dari mana, saya jawab dari kerja, kantor saya memang di kota. Dia minta bukti ya saya tunjukkan. “Silakan terus, hati-hati di jalan, Mas.”

      Lapan anem, kata saya. 🤭🙈

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *