Saya lupa kapan terakhir kali berurusan dengan benang dan jarum. Istri saya juga. Yang pasti sudah tahunan. Kalau saya malah belasan tahun. Ralat: likuran tahun. Kemarin dengan bersusah payah saya bisa memasukkan benang ke jarum karena istri saya akan menisik kain.
Tadi iseng saya mencoba lagi. Sempat berhasil, setelah berupaya dengan repot, namun akhirnya benang tertarik keluar dari lubang jarum. Lalu saya mencoba jarum yang berlubang besar. Langsung masuk.
Sudah puluhan ribu tahun peradaban manusia mengenal jarum jahit, dimulai dari bahan tulang. Tentu ukuran jarum tak sekecil pada zaman logam. Yang pasti, urusan memasukkan benang ke lubang jarum bukan urusan mudah, sehingga pada awal Masehi ayat Injil mencatat sabda berupa tamsil, “Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Matius 19:24)
Kerepotan memasukkan benang ke lubang jarum mendorong saya mencari tahu alat bantu di lokapasar. Ada yang dinamai mata nenek. Baru tahu saya. Di KBBI ternyata ada lema tersebut. Malah di lokapasar ada sebutan lain: alat buta.
Karena si pencari info adalah seorang pria, sebut saja mata kakek. Ada juga cairan gom arab agar ujung benang menjadi lurus dan kaku. Tetapi yang ini untuk memasukkan benang ke dalam manik-manik tanpa bantuan jarum.
Dahulu kala, abad lalu, saya melakukan hal sia-sia. Setiap menginap di hotel, sewing kit sebagai bagian dari amenities, saya ambil, saya masukkan ke tas kerja untuk berjaga-jaga. Menginap di hotel berikutnya, saya ambil kantong berisi benang, jarum, dan kancing itu. Yang lama saya buang.
Pernahkah saya memanfaatkan? Hanya sekali di indekos karena baju saya tumben tanpa kancing cadangan, padahal kancing atas saya lepas. Soal lain, saya tak pernah memeriksa apakah amenities hotel sekarang masih menyertakan perlengkapan jahit tangan.