Melihat iklan pembuatan nomor rumah, saya malah ingin tahu hal lain: pelat nama pemilik rumah yang kerap disebut papan nama. Apakah masih adakah sekarang? Maksud saya bukan papan nama dokter, bidan, ketua RT atau RW, dan layanan lain, melainkan sekadar nama, melengkapi nomor rumah.
Bapak saya dulu memasang pelat nama, dari logam, serupa barang antik dalam foto di atas tangan dijajakan di Tokopedia. Bapak mertua saya juga memasang, dari bahan yang sama.
![Papan nama pemilik rumah Papan nama pemilik rumah](https://blogombal2020.files.wordpress.com/2023/05/wp-1685236970475.webp)
Jadi, selain nomor rumah, dulu lumrah jika penghuni rumah — belum tentu pemilik, bisa saja itu rumah dinas atau rumah kontrakan — memasang nama. Sebagai bocah warga baru di Jalan Osa Maliki, Salatiga, Jateng, saya dulu mengenali nama tetangga dari papan nama. Begitu pun ketika saya bertandang ke rumah teman sekolah. Saya tahu nama bapaknya dari papan nama.
Dari beraneka papan nama pula saya belajar mengenal keragaman etnis Indonesia, terutama dari nama marga: Marpaung, Pasaribu, Gulo, Pattinama, Toisutta, Palangan, Manafe, Kana, Siliwolu, dan Manoppo.
Nama-nama itu bisa juga saya kenali hanya dari tulisan pada papan, ada yang di pintu gerbang, tanpa mengenal seorang pun penghuni rumah. Bisa juga dari nama depan: I Made. Pun tentu nama Cina, misalnya Hoo Pik Wong, pemilik rumah makan Pin Siong.
![papan nama rumah dari kayu papan nama rumah dari kayu](https://blogombal2020.files.wordpress.com/2023/05/wp-1685235276252.webp)
Setelah dewasa, pada 1990, saya mengenal tulisan nama pemilik rumah di Bukit Duri, Jaksel, berupa hasil cat semprot, sebagai grafiti mirip paraf pada tembok pagar: Jim. Nama tuan rumah adalah Jim Supangkat, seorang perupa.
Ada periode, saya baru kelas satu SD, papan nama berupa tabel dari kayu sengon, pembagian dari kantor wali kota melalui kelurahan. Ada nama kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, jumlah laki-laki dan perempuan. Mirip papan kecil di kelas tentang data muridnya. Pada tahun 1970-1980-an, di sejumlah desa ada papan nama keluarga di setiap rumah disertai cara kontrasepsi. Data kesehatan reproduksi personal diumumkan ke publik atas perintah negara.
Kini orang tak perlu memasang papan nama. Bukankah tetangga sudah tahu, demikian pula kurir paket yang rutin? Lebih penting memasang plang “Awas anjing galak!”. Zaman dulu Pak Pos malah hafal nama pemilik rumah yang sering menerima surat dan buku bahkan ketika penulisan alamat tujuannya salah.
Ya, begitulah. Kini tak perlu papan nama. Tetapi nomor rumah penting. Memang sih di peta digital kadang ada sematan nama pada nomor rumah, belum tentu dilakukan oleh penghuni.
Lalu? Lebih dari sekali saya menolak menyebut nama diri kepada tamu yang tak jelas.
![Nomor rumah dari akrilik Nomor rumah dari akrilik](https://blogombal2020.files.wordpress.com/2023/05/wp-1685234572834.webp)
Bulan lalu dua orang tamu di luar pintu gerbang beberapa kali memaksa saya menyebutkan nama diri, tetapi saya menolak, “Anda cari Pak Anu yang ketua RT, kan? Itu dua orang yang berbeda. Nomor rumahnya beda, lokasi rumah mereka udah saya kasih tau, kok dari tadi nanya nama saya?”
“Sekalian aja, Pak. Apa susahnya?”
“Lha Anda siapa?”
Mereka menyebut nama dan nama perusahaan, tetapi saya menyergah, “Kok beda terus? Tadi kan bukan itu?”
“Anu Pak, maksudnya anu anu anu anu…”
Sayang saya tak memiara anjing galak maupun ular kobra.
![Nomornya rumah dari akrilik Nomornya rumah dari akrilik](https://blogombal2020.files.wordpress.com/2023/05/wp-1685233361840.webp)
9 Comments
Rumah saya sudah pakai nomor rumah berukuran cukup besar sehingga gampang dibaca. Kayaknya keren kalau saya tambahi pelat nama lengkap saya, lengkap dengan gelar sarjana (Drs). 😁😬😂
Yakin, gelar di ijazah Drs? Bukan S.I. Kom?
Tepatnya, Sarjana Program Studi Komunikasi Massa (menurut arsip foto ijazah saya yang saya simpan di ponsel).
Kalau versi rekening tabungan BCA, pakai Drs. 😁
Toppp.
Saya baru sekarang jadi Drs: Di rumah saja.
Di Solo ada juga Drs yang dodol roti surungan. 😁
Sinten nggih?
Dulu waktu saya kecil, di Solo ada band yang salah satu personelnya Drs, padahal bukan band kampus. Waktu itu langka sarjana ngeband. Drs. Parnadi dari Trenchem, temannya Setiawan Djody. Njenengan pernah diajar Pak Parnadi?
Woooo lha beliau semasa hidup jadi dosen saya, dan banyak yang tahu beliau mantan vokalis Trenchem dengan nama panggung, kalau tidak salah, Bernard.
Pak Parnadi pernah menjabat Pembantu Dekan III Fisipol UNS atau brp, saya lupa.
Lalu kelanjutannya gimana Mas? Kok merinding ya mbayanginnya. MOnya mencurigakan.
Jaman sekaramg memang beresiko tinggi kalau pasang plang nama depan rumah, karena bisa disalahgunakan orang-orang yang berniyat buruk. Apalagi sekarang MOnya beragam dan cerdas pula mereka tuh.
Kelanjutannya ya segera munculnya laporan dari warga yang jadi target ke grup RT. Elang niatnya si tamu mencurigakan.