Editor Kompas Ahmad Arif mengamplifikasi berita The Conversation Indonesia tentang rendahnya gaji dosen pemula. Moral cerita: gaji mereka rendah. Ahmad memberi judul “Upah Murah Dosen dan Kualitas Pendidikan Tinggi”.
Cerita selengkapnya sila simak di The Conversation berikut artikel lain yang bertautan dengan topik.
Laporan tersebut berdasarkan survei terhadap 1.196 dosen di Indonesia. Mayoritas responden berusia 26-40 tahun (80,6 persen). Sebagian besar berpendidikan terakhir S2 (82,2 persen) dan telah bekerja selama 0-10 tahun (79,8 persen).
Sebanyak 42,9 persen dosen menerima pendapatan tetap di bawah Rp3 juta per bulan. Editor menyisipkan info dalam artikel, “Sebagai catatan, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) di Indonesia berkisar pada angka Rp 2.910.632 pada 2023.”
Di luar gaji tetap ada pendapatan tak tetap, namun bagi 53,6 persen responden jumlah pendapatan variabel tersebut, misalnya dari honorarium sebagai pembicara, tak sampai Rp1 juta sebulan.
Berat memang jadi dosen kalau hanya mengandalkan gaji tetap tanpa tunjangan jabatan dan lainnya. Saya membayangkan bagaimana kalau ingin membeli buku, lokal dan terlebih impor, sementara di perpustakaan tak ada edisi terbaru, atau malah di perpustakaan tidak ada?
Tak semua informasi tersedia gratis di internet. Koran dan majalah daring pun berbayar. Bahkan mengakses internet dari ponsel maupun komputer juga bayar. Demikian pula penggunaan aplikasi tertentu di ponsel dan desktop serta laptop. Anggaran Rp300.000 sebulan untuk bacaan, dalam pengandaian saya, berat bagi dosen berupah cekak.
Berat nian menyandang status inteligensia tetapi selalu terpaksa rajin mengonsumsi produk bajakan dengan alasan biaya, padahal melanggar hak atas kekayaan intelektual.
¬ Gambar praolah ilustrasi laman judul posting:
azerbaijan_stockers @ Freepik