Dunia paket: Konsumsi dan cermin diri

Mana yang penting dan perlu boleh kita anggap sama, demikian pula yang mendesak dan bisa entar, terutama ketika ada uang.

▒ Lama baca < 1 menit

Belanja daring, rutinitas, dan ketamakan

Dulu ketika kerap berbelanja daring, bukan hanya pesan barang untuk pribadi, saya malah jarang melacak perjalanan pesanan. Tracking hanya saya lakukan kalau memesan dari luar negeri. Lalu apa moral ceritanya?

Ketika saya sering berbelanja, bahkan dalam sehari bisa tiba lebih dari satu paket, via jasa kurir berbeda, saya seperti tak peduli soal perjalanan barang. Hanya peduli kalau barang belum sampai dalam waktu melebihi estimasi. Tetapi itu pun jarang.

Ketika pandemi masih menggigit, sehingga banyak orang bekerja dari rumah, lebih dari sekali saya mendengar keluhan kaum ibu. Soal apa? Sehari bisa datang beberapa paket, tetapi anak-anak mereka tak langsung unboxing. Ada yang paketnya tetap di teras atau ruang keluarga, ditinggal bekerja di kamar, lalu membukanya setelah makan siang, bahkan ada yang malam setelah mandi dan makan.

Seorang ibu mengeluh, “Belanja kok nggak niat, kayak iseng buang duit.” Sebagian dari pengeluh itu tak berbelanja daring.

Malah ada yang mengeluhkan hal sama: ketika belum pandemi, para suami sepulang dari mal sekeluarga setibanya di rumah tak langsung membuka tas belanjaan, terutama pakaian dan sepatu. Alasannya: sudah mencoba di toko.

Hubungannya dengan tracking yang justru saya lakukan sekarang? Apapun yang sering kita lakukan itu kurang memberikan sensasi, sudah menjadi rutinitas belaka.

Belanja daring, rutinitas, dan ketamakan

Dari tracking saya menjadi lebih sadar, perusahaan logistik bekerja 24 jam, terutama orang ekspedisi dan gudang. Untunglah teknologi informasi mempermudah pekerjaan.

Truk kargo dan mobil boks yang menyesaki jalan tol adalah bagian dari geliat ekonomi. Demikian pula para kurir bermotor yang menyusup ke gang buntu sempit untuk mengantarkan barang.

Kita merasa berbelanja daring sebagai hal yang alami dalam ekonomi pasar. Tak ada barter, semuanya menggunakan uang, sama seperti ke warung pracangan dan minimarket dekat rumah.

Barang mudah kita dapatkan, melalui mata rantai yang boleh kita abaikan, dan kita semakin terasing dengan proses produksi (¬ lihat: Dari Desa dengan Cinta). Kita tak hidup seperti peladang subsisten: mereka memakan yang mereka tanam. Selebihnya untuk dibarter, atau terpaksa diuangkan.

Lalu kita mengonsumsi berlebihan. Mana yang penting dan perlu boleh kita anggap sama, demikian pula yang mendesak dan bisa entar, terutama ketika ada uang.

Mencoba memahami kerepotan kurir paket

Kurir mesin cuci

COD itu masalah bagi penjual, konsumen, atau kurir?

Kurir paket itu minta maaf, tidak bisa turun dari motor…

Derita kurir kebahagiaan konsumen

2 Comments

junianto Selasa 2 Mei 2023 ~ 13.44 Reply

Sebelum pandemi saya mborong banyak kaus oblong bermerek karena sedang ada diskon 50 persen (kalau tidak salah 12 kaus). Sebagian saya pakai, sebagian lagi saya simpan di lemari tanpa membuka plastiknya. Akhirnya sekitar enam kaus, masih dalam plastik, saya kasihkan ke anak lanang yang sudah menikah, dan menantu lanang.

Tentang tracking, kalau beli barang pakai cara daring, saya “sabar menanti”, tidak buru-buru melakukan tracking. Lebih sering tracking saat membelikan barang untuk istri karena dia tidak sabaran.😁

Pemilik Blog Selasa 2 Mei 2023 ~ 13.50 Reply

Kalau saya pesan via kiriman tercepat ya pakai tracking krn barang harus segera dipasang. Misalnya radar toren air.

Salam dari penjahit Sabar Menanti.

Tinggalkan Balasan