↻ Lama baca 3 menit ↬

Kurir paket Ninja Express yang kerepotan

Saya hitung butuh sekitar lima belas menit bagi Pak Kurir, yang seusia bahkan tampaknya lebih tua dari saya, untuk menata paket yang dia bawa agar mudah dalam mengurutkan pengantaran.

Kurir paket Ninja Express yang kerepotan

Sore itu dia membawa banyak paket dalam tas tegak yang dia boncengkan di atas sepeda motornya. Untuk saya ada dua paket, namun paket yang kedua tak segera dia temukan, sehingga dia harus mengeluarkan sebagian paket lalu meletakkannya di atas jalan depan rumah saya. Untung jalan sedang sepi, tak hujan pula.

Kurir paket Ninja Express yang kerepotan

Seratus buah paket sekali angkut

Untuk pergudangan pasti ada sistemnya. Tanpa itu, perusahaan logistik akan kacau. Arus masuk keluar adalah satu hal, dan pengantaran ke alamat tujuan adalah soal berikutnya.

Saya pernah mendapatkan kiriman sofa beda ukuran maupun warna dari sebuah perusahaan mebel F, yang gencar berpromosi, karena barang itulah yang diberikan kepada awak mobil boks. Barang berbeda dari manifes. Awak mobil tak mungkin memeriksa karena anak sofa terbungkus, lagi pula yang mereka bawa ada beberapa pesanan untuk sekian alamat.

Kurir paket Ninja Express yang kerepotan

Kembali ke soal Pak Kurir paket dari jenama yang merujuk cerita silat itu. Saya mengandaikan, perusahaan memiliki sistem untuk menata seratus barang antaran dia, yang terintegrasi dengan aplikasi pada ponsel kurir. Barcode hanyalah alat bantu identifikasi. Begitu pula Google Maps sebagai pemandu lokasi.

Saya membayangkan kerepotan berkelindan. Pertama: teks dalam lembar label perusahaan logistik sangat kecil, menjadi masalah bagi mata normal dan terlebih dengan dioptri plus dan minus sekaligus tapi tanpa kacamata progresif.

Kedua: penomoran rumah di sebagian kota Indonesia ini kacau. Di sebuah jalan, bisa terjadi setelah nomor 123, 125, dan 127, tiba-tiba ada nomor 69 A dan 69 B. Di kompleks saya, penomoran tak ikut kelaziman sebangsa sisi kiri genap, sisi kanan gasal. Di tempat saya, penomoran meneruskan nomor kaveling dari pengembang perumahan. Sisi alamat saya bernomor dua ratusan, sisi depan rumah berangka seratusan.

Saya teringat bagaimana Pak Pos bekerja sebelum ada Google Maps. Setiap wilayah digarap seorang petugas. Lalu petugas baru bekerja dengan cara tandem.

Persoalannya bukan cuma kenal wilayah berikut sejumlah nama dan rumah yang kerap beroleh kiriman pos, tapi Pak Pos punya cara mengurutkan kiriman dalam tas sesuai rute dia.

Untuk seratus paket seperti yang Pak Kurir bawa tadi — angka seratus itu menurut pengakuannya — saya tak tahu bagaimana sistem logistik tak perlu menambahkan coretan angka besar, atau stiker, dalam setiap bungkus paket untuk mempermudah pengurutan dan pencarian bawaan.

Akan tetapi, oh ya, ya, ya… bukankah ukuran setiap paket berbeda? Tidak bisa prinsip menata isi carrier saat melancong diterapkan begitu saja.

Tidak menawari minum

Kurir paket Ninja Express yang kerepotan

Dulu, pada 2014 saat saya banyak di rumah, antara lain karena memulihkan mini stroke, hampir setiap kurir datang dengan kepenatan.

Saat saya tawari minuman (kadang sirup, kalau sedang ada), atau saya beri segelas plastik bahkan sebotol mini Aqua, pasti disambut dengan sukacita. Mereka kehausan karena bermotor jauh, bisa sampai tiga puluh kilometer, menembus kemacetan, karena jaringan pos kurir belum luas.

Kini jaringan kantor logistik terus bertambah. Selain karena menanya, saya sudah membuktikannya saat bersepeda: ada sejumlah kantor kecil logistik di sekitar saya. Para kurir tak secapai dulu.

Soal jarak, pengecualian berlaku untuk Grab dan Gojek. Kadang memang jauh, dari Jakarta Utara ke Pondokmelati, Bekasi, itu likuran kilometer bahkan lebih.

Namun para kurir, termasuk Gojek dan Grab dari jauh, kini menolak minuman. Saya juga berhati-hati menawari, karena dua hal. Pertama: saya tak lagi menyimpan air kemasan dalam gelas plastik maupun Aqua botol mini tersebab diet plastik. Kedua: karena Covid-19.

Hanya karena alasan khusus, melihat mereka kepayahan, seperti Pak Kurir seratus paket tadi, saya menawari minum. Namun Pak 100 paket menolak. Di tebeng kiri motornya tergantung tas keresek berisi botol buram tiga perempat penuh.

“Nggak, Pak. Makasih. Saya cuma permisi numpang buat ngatur barang,” sahutnya.

Semoga itu lima belas menit pertama dan terakhir hari itu.