Karak mentah ibu muda berkebaya

Ada yang melihat kebaya tradisional maupun modern hanya sebagai persoalan fesyen, namun ada juga yang menganggapnya pemurtadan.

▒ Lama baca < 1 menit

Karak mentah cap Ibu Menggoreng dari Salatiga, Jateng

Kerupuk gendar atau karak, masih mentah, ini pernah saya jadikan untuk ilustrasi menggapai ucapan Megawati saat kelangkaan minyak goreng: tidak menggoreng. Saya teringat posting tahun lalu itu karena tadi pagi menerima oleh-oleh dari Salatiga.

Karak Ibu Menggoreng dan Megawati

Saya tidak tahu kapan persisnya karak Salatiga yang ini muncul. Mungkin tahun 1980-an, dengan tipografi Rugos. Tetapi kalau melihat gaya ilustrasinya seperti 1970-an. Dalam hal apa? Gaya rias dan busana si ibu yang dalam tafsir saya masih muda, di bawah 40.

Gaya riasnya membiarkan rambut dikucir, bukan disanggul, padahal berkain kebaya. Ya, karena di rumah, sedang memasak. Saya tak dapat menebak apakah si ilustraror memaksudkan si ibu memakai maskara dan celak (eyeliner) — pernik garis mata itu sudah dikenal pada Mesir Kuno, abad ke-15 SM.

Tentang kain kebaya berkutubaru, dulu lumrah dalam kehidupan domestik maupun di luar rumah. Di SMA saya mengalami diajar guru bahasa Indonesia berkain kebaya, namanya Ibu Tatik. Saat saya kuliah, seorang ibu sepuh di bagian pengajaran selalu berkain kebaya, namanya Ibu Budi. Waktu saya SD, bude saya, perawat di RSAL Jakarta, di luar dinas selalu berkain kebaya, bahkan dalam perjalanan jauh naik bus malam Elteha Jakarta-Salatiga PP.

Karak mentah cap Ibu Menggoreng dari Salatiga, Jateng

Dalam komunikasi pemasaran, label yang saya ingat memasang perempuan modern berkain kebaya adalah ember plastik Pioneer. Sampai 1980-an label itu masih tertempel pada setiap ember yang iklannya di TVRI menampilkan ember tak pecah saat dijatuhkan dari helikoper — entah dari ketinggian berapa.

Ember plastik Pioneer, terbaik pada zamannya, bergambar perempuan berkebaya
KEBAYA | Ember plastik Pioneer, terbaik pada zamannya, bergambar perempuan Indonesia modern berkebaya.

Dalam bisnis, saya tak tahu gaya kain kebaya ala pramugari Singapore Airlines sebelum dipakai para penjaga pintu sinepleks jaringan 21 pada 1980-an, apakah sudah ada yang mendahului. Mungkin restoran rijsttafel? Daya ingat saya mulai memudar, tetapi untuk meriset media kertas harus ke perpustakaan.

Dalam perjalanan waktu, kain kebaya, atau hanya kebaya dengan celana panjang, di ruang publik terus bergerak — kalau di ranah domestik sih cukup daster, kolor, dan piyama. Sebagai gaya sekaligus pernyataan kolektif — fesyen bukan sebatas personal statement — seperti Selasa Berkebaya sebelum pandemi, kebaya di ruang publik bisa dimaknai dengan tafsir kontra karena membawa urusan agama, yakni pemurtadan (¬ Tirto).

Kebaya tanpa kerudung dianggap sebagai pemurtadan
MURTAD | Di tengah wacana identitas busana Nusantara, dan Islam Nusantara, kebaya modern tanpa kerudung bisa ditafsirkan sebagai pemurtadan.

Hari Kartini dan kebaya, oh masih juga…

7 Comments

AMD 😁 Kamis 27 April 2023 ~ 15.28 Reply

Nampaknya belakangan ini “mereka” seperti sengaja mengisi ruang-ruang publik dengan teriakannya yang noisy banget. Membuat polusi nalar makin kencang saja..*sigh*

AMD 😁 Rabu 26 April 2023 ~ 19.32 Reply

Awal tulisan ini bikin aku merasa melankolis, merindukan kerupuk karak gosong favorit ketika bocah, dan almarhumah Eyang Putri yang senantiasa berkebaya dengan anggunnya. Tapi alinea terakhirnya membuat aku sedih. Perempuan di zaman 5G ini masih ditakut-takuti dengan narasi politisasi agama, bahkan untuk mengambil keputusan terhadap hidupnya sendiri. So sad.

Pemilik Blog Rabu 26 April 2023 ~ 20.11 Reply

Mudahkah orang murtad dalam arti meninggalkan agamanya untuk jadi agnostik atau pindah ke agama lain? Secara umum tidak. Ada proses kegelisahan, pencarian, dst.

Jika menyangkut busana, itu adalah pilihan personal 🙏

junianto Selasa 25 April 2023 ~ 19.47 Reply

Dan jangan lupa, yang pernah viral, video kebaya merah….

🏃

Pemilik Blog Rabu 26 April 2023 ~ 14.48 Reply

Video apa ya? Peragaan busana? Bagus ndak?

Tinggalkan Balasan