Kerupuk gendar atau karak, masih mentah, ini pernah saya jadikan untuk ilustrasi menggapai ucapan Megawati saat kelangkaan minyak goreng: tidak menggoreng. Saya teringat posting tahun lalu itu karena tadi pagi menerima oleh-oleh dari Salatiga.
Saya tidak tahu kapan persisnya karak Salatiga yang ini muncul. Mungkin tahun 1980-an, dengan tipografi Rugos. Tetapi kalau melihat gaya ilustrasinya seperti 1970-an. Dalam hal apa? Gaya rias dan busana si ibu yang dalam tafsir saya masih muda, di bawah 40.
Gaya riasnya membiarkan rambut dikucir, bukan disanggul, padahal berkain kebaya. Ya, karena di rumah, sedang memasak. Saya tak dapat menebak apakah si ilustraror memaksudkan si ibu memakai maskara dan celak (eyeliner) — pernik garis mata itu sudah dikenal pada Mesir Kuno, abad ke-15 SM.
Tentang kain kebaya berkutubaru, dulu lumrah dalam kehidupan domestik maupun di luar rumah. Di SMA saya mengalami diajar guru bahasa Indonesia berkain kebaya, namanya Ibu Tatik. Saat saya kuliah, seorang ibu sepuh di bagian pengajaran selalu berkain kebaya, namanya Ibu Budi. Waktu saya SD, bude saya, perawat di RSAL Jakarta, di luar dinas selalu berkain kebaya, bahkan dalam perjalanan jauh naik bus malam Elteha Jakarta-Salatiga PP.
Dalam komunikasi pemasaran, label yang saya ingat memasang perempuan modern berkain kebaya adalah ember plastik Pioneer. Sampai 1980-an label itu masih tertempel pada setiap ember yang iklannya di TVRI menampilkan ember tak pecah saat dijatuhkan dari helikoper — entah dari ketinggian berapa.
Dalam bisnis, saya tak tahu gaya kain kebaya ala pramugari Singapore Airlines sebelum dipakai para penjaga pintu sinepleks jaringan 21 pada 1980-an, apakah sudah ada yang mendahului. Mungkin restoran rijsttafel? Daya ingat saya mulai memudar, tetapi untuk meriset media kertas harus ke perpustakaan.
Dalam perjalanan waktu, kain kebaya, atau hanya kebaya dengan celana panjang, di ruang publik terus bergerak — kalau di ranah domestik sih cukup daster, kolor, dan piyama. Sebagai gaya sekaligus pernyataan kolektif — fesyen bukan sebatas personal statement — seperti Selasa Berkebaya sebelum pandemi, kebaya di ruang publik bisa dimaknai dengan tafsir kontra karena membawa urusan agama, yakni pemurtadan (¬ Tirto).
7 Comments
Nampaknya belakangan ini “mereka” seperti sengaja mengisi ruang-ruang publik dengan teriakannya yang noisy banget. Membuat polusi nalar makin kencang saja..*sigh*
🙈💐
Awal tulisan ini bikin aku merasa melankolis, merindukan kerupuk karak gosong favorit ketika bocah, dan almarhumah Eyang Putri yang senantiasa berkebaya dengan anggunnya. Tapi alinea terakhirnya membuat aku sedih. Perempuan di zaman 5G ini masih ditakut-takuti dengan narasi politisasi agama, bahkan untuk mengambil keputusan terhadap hidupnya sendiri. So sad.
Mudahkah orang murtad dalam arti meninggalkan agamanya untuk jadi agnostik atau pindah ke agama lain? Secara umum tidak. Ada proses kegelisahan, pencarian, dst.
Jika menyangkut busana, itu adalah pilihan personal 🙏
Dan jangan lupa, yang pernah viral, video kebaya merah….
🏃
Video apa ya? Peragaan busana? Bagus ndak?
😂😂