Kebaya masih akan bertahan. Tantangannya adalah kepraktisan, termasuk dalam transportasi.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Apakah Lebaran ini Anda berkebaya? Saya teringat kebaya saat kemarin memegang ember plastik, untuk mengurusi jemuran, lalu teringat ember jadul cap Pioneer. Saya pernah bikin posting di blog lawas ihwal label pada ember itu (Gombalabel Blogdrives, 2004). Sayang ukuran gambarnya kecil.

Harap maklum, dulu resolusi layar desktop banyak yang kecil, bandwidth juga cekak, dan lebih dari itu dulu layanan blog gratis membatasi gambar sehingga saya memanfaatkan layanan hosting gambar yang akhirnya memungut biaya.

Label ember Pioneer bergambar perempuan berkebaya

Beberapa kali di blog ini saya menulis tentang kebaya. Ada romantisisme namun saya menerima perubahan gaya busana. Kain jarik batik, juga tenun, bukan lagi busana harian karena tidak praktis dan nilai-nilai baru dalam berbusana.

Seperti pernah saya ceritakan, bude saya dulu pada 1970-an selalu bepergian dengan kebaya dan jarik, tetapi saat bekerja sebagai suster di RSAL Jakarta ya tetap mengenakan baju perawat. Tetapi naik bus malam Elteha dari Jakarta ke Salatiga, dan sebaliknya, bude berkain kebaya. Saya membayangkan itu kurang nyaman.

Begitu pun Ibu Budi dari bagian pengajarnya di Fisipol UGM, Jogja, pada 1980-an: selalu berkain kebaya. Saya tak tahu, sebelum ada Colt Kampus dan kemudian Kopata, beliau berangkat dan pulang kerja naik apa.

Bagaimana dengan perempuan kampung dan desa? Kalau sekarang, sejak 1990-an, makin jarang yang berkain kebaya harian — termasuk jarik kasar dan kebaya lurik untuk ke pasar bahkan ke sawah. Hanya lukisan lama yang mengabadikannya. Selain itu adalah “salon foto”, istilah lama untuk lomba foto.

Seorang perempuan Jogja berkebaya di Malioboro, 1948

Dulu waktu saya bocah, biasa saja melihat perempuan dari latar apapun berkain kebaya, termasuk di kalangan perempuan tua keturunan Cina dan Arab.

Oh, saya teringat obrolan Habib Ben Sohib dan Ade Armando di CokroTV YouTube kemarin. Gaya busana Timur Tengah akhirnya juga mengubah gaya busana perempuan keturunan Hadramaut di Indonesia. Jika kita bicara baju gamis dan sebagainya sebenarnya tak harus untuk Muslim. Orang Kristen di Suriah dan Irak juga mengenakannya.

Cut Mini Theo sebagai Ibu Guru Muslimah dalam Laskar Pelangi

Ketika saya masih SD, saya terbiasa melihat cewek madrasah berkebaya. Di Jogja, saya dulu waktu bocah terbiasa melihat mahasiswi IAIN Sunan Kalijaga berkain kebaya dengan kerudung longgar. Ya, seingat saya seperti yang dikenakan Ibu Muslimah, diperankan oleh Cut Mini, dalam film Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008).

Lalu bagaimana kebaya kini dan nanti? Tetap akan ada dengan aneka gaya, untuk wisuda dan kondangan plus acara resmi lainnya. Kebaya modern lebih praktis. Juga lebih ramah terhadap aneka pilihan eklektik, misalnya hijab.

https://twitter.com/sleepyheadsopi/status/1519238045857628160?t=I4Cx-IaTAsjXB_92zEZTgw&s=19

Tiga tahun lalu ketika di media sosial muncul aneka foto perempuan berkebaya dalam stasiun dan gerbong MRT, sempat muncul tafsir bahwa itu adalah ekspresi perlawanan. Lho terhadap apa dan siapa? Memang sih, fesyen adalah pernyataan diri, personal statement.

Bagi pemakainya mungkin sekadar selingan berbusana seperti halnya terhadap gaya busana lainnya. Tetapi orang lain menafsirkan jauh.

¬ Gambar: Tokopedia, Shopee, Miles Films, Nederlands Fotomuseum

NPL: Masih ada perempuan jarikan di sawah (2016)

Hari Kartini: Kenapa Harus Berkebaya?

Mbakyu Jamu Gendong di Ibu Kota

Jamu Dorong

2 thoughts on “Kebaya dan ember plastik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *