Indonesia beruntung, setelah merdeka langsung punya bahasa nasional. Bahasa penjajah hanya dipahami generasi kolonial.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Bahasa Belanda dalam bungkus roti vlugge japie

Roti atau kue, atau lainnya? Saya mengikuti cara lama, makanan yang terbuat dari gandum adalah roti. Simbah saya juga menyebut biskuit itu roti — tepatnya “roti blèk” atau “roti blèg” jika menyangkut biskuit dalam kaleng seperti Khong Guan.

Nah, ketika melihat roti yang bungkusnya berbahasa Belanda¹, namun desainnya modern, saya teringat dua hal. Pertama: iklan penganan dalam majalah berbahasa Melayu era kolonial, sebelum Jepang masuk, biasanya berupa ilustrasi hasil kerja tangan.

Bahasa Belanda dalam bungkus roti vlugge japie

Kedua: sudah memasuki Indonesia modern, iklan makanan kemasan dengan foto berwarna di majalah Belanda Margriet dan Libelle milik ibu saya. Kedua majalah itulah yang pada 1970-an mengilhami Pia Alisjahbana, Mirta Kartohadiprodjo, dan Widarti Goenawan menerbitkan Femina, majalah wanita Indonesia.

Kedua orangtua saya bisa berbahasa Belanda. Kadang mereka berbicara dalam bahasa Belanda bercampur Jawa saat membahas anak-anaknya. Kami, anak-anak, tak ada yang bisa berbahasa Belanda — sementara bahasa Inggris saya buruk. Adik saya ketika kuliah di Negeri Belanda menggunakan bahasa Inggris. Maka sepeninggal Bapak, buku-buku lawas maupun modern berbahasa Belanda tak ada yang mewarisi. Demikian pula buku berbahasa Jerman dan beberapa berbahasa Prancis, karena Bapak seorang poliglot yang bisa membaca tulisan Arab.

Bahasa Belanda dalam kue kaas sosjes

Lalu hubungan cerita ini dengan roti buatan Negeri Belanda oleh perusahaan Jerman sehingga ada atribut GmbH, bukan NV, yang saya dapatkan sebagai oleh-oleh dari Holland?

Indonesia beruntung, lebih dini memutuskan bahasa nasional yang berbasis Melayu. Proklamasi Indonesia berbahasa Indonesia. Konstitusi juga.

Negeri lain yang merdeka pasca-Perang Dunia II banyak yang akhirnya menggunakan bahasa bekas penjajah sebagai bahasa resmi. Atau menggunakan dwibahasa, bahkan ada yang lebih, yakni lokal yang berbasis kesukuan dan Inggris atau Prancis, juga Spanyol atau Portugis.

Setelah kita merdeka, bahasa Belanda menjadi residu bahasa komunikasi kaum terdidik, muncul dalam percakapan². Bung Hatta, ketika menjenguk Bung Karno sebagai tahanan yang sakit di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, menyapa, “Achhh… No, apa kabar?” Bung Karno menyahut lemah, “Hoe gaat het met jou?” — artinya apa kabarmu. Dua hari kemudian Bung Karno berpulang ke rahmatullah.

Kalau Soeharto? Saya lupa siapa yang mengatakan, mungkin Ben Anderson, menyebut dia dan kelompoknya di Divisi Diponegoro sebagai “perwira Jawa” karena sering berbicara dalam bahasa Jawa. Maksudnya berbeda dari perwira divisi lain, misalnya Siliwangi, yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Ah, boleh jadi hanya stereotipe. Ahmad Yani juga orang Jawa, kelahiran Purworejo, namun dia fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Sedangkan A.H. Nasution, T.B. Simatupang, dan A.E. Kawilarang tentu fasih dengan kedua bahasa itu.

Kini jejak bahasa Belanda masih ada dalam bidang hukum (misalnya inkracht, yang ditulis apa adanya, artinya putusan hukum berkekuatan tetap) dan teknik, tepatnya perbengkelan (misalnya “laher”, dari kogellager atau ball bearing).

Bahasa Belanda dalam vlugge japie

Kalau “persekot”, dari voorschot? Jarang terdengar. Begitu pula “uang panjar”. Lebih mudah “uang muka” atau “DP” (down payment). Saya tak tahu apakah orang Amerika dan Inggris mengenal istilah DP — kalau dalam bidang lain malah lebih dikenal. Begitu pula istilah para oma kolonial, yakni TV (tweede vrouw, istri kedua), yang di Negeri Belanda mungkin tak dikenal.

Adapun istilah samenleven, secara umum berarti hidup bersama, yang dalam bahasa Jawa disebut kumpul kebo — tetapi dalam studi demografi, Masri Singarimbun memakai istilah itu untuk variabel status marital — kini dalam bahasa Indonesia disebut kohabitasi. Perbincangan dalam KUHP (Pasal 412 ayat (1]), sejak masih RUU, mengadopsi kata yang dalam lidah kemrancis terdengar “kohabitesyong” itu. Di Barat, istilah ini juga berlaku untuk politik.

¹) Untuk arti teks dalam foto kemasan silakan Anda cari melalui aplikasi ponsel

²) Seniman ajaib Remy Sylado pernah bertanya jawab dengan Ucok Harahap dalam bahasa Belanda, kalau bukan di majalah Aktuil ya majalah Top, 1970-an

7 thoughts on “Bahasa Belanda dalam bungkus roti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *