Di grup WhatsApp eks sejawat, ada kawan yang mengomentari suatu hal dengan melampirkan foto seorang perempuan naik sepeda mengangkut daun singkong. Dia tambahkan kapsi: “Naik daun, kali”.
Saya membalas via japri, bertanya itu foto karya siapa, lalu kalau itu hasil jepretan dia apakah saya boleh menjadikannya sebagai posting di blog saya. Dia jawab, “Bukan. Itu kiriman dari konco, udah lama.”
Saya mengenal istilah “naik daun” pada 1980-an. Saat itu saya langsung teringat ulat. Lalu awal 2000-an ketika ada blog Ulat Bulu Naik Daun, milik cewek Surabaya, saya merasa punya kawan satu persepsi.
Sejauh saya ingat, istilah naik daun itu dipopulerkan oleh majalah Tempo. Seorang wartawan Tempo juga pernah mengatakan begitu.
Maksud saya memopulerkan itu, Tempo mencomot istilah di lingkungan masyarakat tertentu lalu menyebarluaskan. Selain naik daun, pada abad lalu Tempo juga memopulerkan “apa pasal?” — ada rasa tuturan Melayu Sumatra, mungkin karena faktor Ed Zoelverdi. Sebagai penutup kalimat, maupun selalu kalimat pendek, “apa pasal?” itu serupa “kok bisa?” yang terasa Jawa. Kemudian media lain, termasuk TV, memopulerkan istilah “pasalnya” untuk menyebut sebab.
Gaya Tempo yang menyebar setelah 2000-an adalah “rasuah” (Malaysia menggunakan ini) dan “berkelindan” (ini bukan istilah baru). Kini, cara bertutur sebagian media cenderung dipengaruhi media sosial. Lebih akrab dan mudah dicerna.
Dulu belum ada medsos. Gaya bahkan peristilahan dalam berita media sangat menjawa karena presiden dan pejabat banyak yang berlatar Jawa atau terpengaruh bahasa Jawa. Setelah ada medsos, video pejabat daerah berbicara menunjukkan keragaman Indonesia tanpa tergantung stasiun televisi.
Kini penular gaya bahasa adalah media sosial, dari warga untuk warga, bukan lagi media berita yang kuat dan merasa sebagai sentrum kehidupan.
¬ Hak cipta foto utama praolah: belum diketahui