↻ Lama baca < 1 menit ↬

Vandalisme di tempat belajar mengaji

Saya tak tahu kapankah coretan pada wajah itu dibuat, tetapi saya baru memergoki dua hari lalu, sebelum memotret pemangkasan pohon. Mencoreti properti orang lain berarti tak menghormati hak orang lain.

Karena saya memotretnya menjelang Ramadan, dalam judul saya masukkan keterangan waktu. Kebetulan korban vandalisme ini sebuah rumah tempat belajar mengaji. Sungguh terlalu si pelaku itu.

Saya tak suka bertaruh tetapi yakin semua pengotor properti tak suka jika rumahnya — atau rumah orangtuanya, jika mereka di bawah umur — dicoreti. Artinya mereka mau menang sendiri.

Saya tak tahu apakah di lingkungan itu ada CCTV. Jika dalam video terbukti pelakunya masih anak, tinggal hubungi orangtuanya. Kalau pelakunya sudah dewasa, terserah pemilik spanduk. Misalnya pencoretan oleh orang dewasa dilakukan di tembok, pelaku bisa diminta menghapus.

Oh, menghapus grafiti dan sejenisnya?

Baiklah saya akui, waktu kelas tiga SMP saya mencoretkan spidol di tembok gedung pemancar microwave di puncak Gunung Telomoyo, Jateng. Isinya menyebut sekolah saya “SMP Orthodox”, “Jalan Sukowati 47A….” dan “Mr X B.A. & His Gang”. X adalah nama kepala sekolah. B.A. adalah gelarnya.

Setelah saya turun, ternyata ada rombongan pramuka di bawah panduan Mr X naik ke puncak. Mereka satu sekolah dengan saya, sedang berkemah di Kopeng. Seorang anak manis tumbak cucukan malaporkan grafiti itu.

Singkat cerita, menjelang ujian saya diskors seminggu. Selama masa hukuman itu saya harus naik ke puncak menghapus grafiti.

Mengharukan. Ketika saya melakukan vandalisme hanya pergi berempat. Ketika saya harus menghapus, saya ditemani banyak anak, sekitar sembilan. Setiba di puncak, coretan spidol permanen sudah pudar, sulit terbaca.

Tetapi setelah bertambah usia sedikit, saya menilai hukuman untuk saya itu baik.