Saya memang kadang lancang, secara impulsif bisa nimbrung obrolan orang padahal tak kenal. Misalnya siang ini, di sebuah warung pinggir tikungan, seorang ibu dan seorang bibi sedang menanggap seorang bocah. Saya tak tahu nama bocah itu, jadi sebut saja Tongki, ternyata kelas empat SD.
Saya dengar sang ibu memeluk anaknya dan bertanya, “Terus kamu tadi di kelas ngantuk gimana ngilanginnya?”
Tongki menjawab, “Ngopi, Bun!”
Seisi warung, yakni dua ibu dan seorang pengudap yang akrab dengan keluarga itu, pun tertawa. Saya ikut nimbrung, berkomentar, dan mereka pun membiarkan. Kehadiran penjual pecel yang telah saya kenal untuk ikut nimbrung menjadikan saya tak merasa sebagai orang asing.
Singkat cerita, tadi pagi di kelas anak itu mengantuk. Lalu dia dan seorang temannya punya ide membeli kopi saset. Uang bekal Rp10.000 habis. Yang Rp2.000 buat beli buku, lalu Rp3.000 buat kopi berikut gula untuk berdua, sisanya untuk infak.
Saya bertanya, “Adik nyeduh kopinya di mana?”
“Kantor guru,” jawabnya.
Jawaban sama untuk pertanyaan minum di mana. Saya tanya lagi apakah tak ada yang melihat, jawabannya, “Gurunya lagi nggak ada.”
Baru pertama kali Tongki minum kopi. Di rumahnya juga menjual kopi saset, bisa diminum di tempat, tetapi dia belum pernah merasakannya.
Kata ibunya, Tongki tak terbiasa dengan bemacam minuman. Bahkan minum Nutrisari dan minuman botolan yang dijual ibunya, dia bisa sakit. “Lebih mahal ongkos dokternya, Oom,” kata si ibu. Maka dia nasihati Tongki, “Entar jangan diulangi ya.”
Kemasan kopi setahu saya tak memuat batasan usia peminum. Tetapi saya saat SD tak minum kopi. Ketika SMP beberapa kali ngopi, karena disuguhi di desa atau saat berkemah. Setelah kuliah, jika saya pulang ke rumah Salatiga, Ibu selalu membuatkan kopi pagi.
Anda menyukai kopi sejak usia berapa?
12 Comments
Masih ga ngerti enaknya kopi 😁 (2)
Tabik 👏👍🙏
Masih ga ngerti enaknya kopi 😁
Tiap orang berbeda selera terhadap makanan dan minuman. Kalau terhadap buah dan sayur sepertiga orang nggak tertarik petai dan jengkol 🙏😇
Waduh Nak Tongki, cukup sekali ini saja ya minum kopinya. Nanti minum lagi pas udah SMP atau SMA, itu pun seminggu sekali saja. Buwat tombo pengen saja.
Khawatir bisa stunting buat anak kecil nih.
Sehari kemudian tukang pecel mampir ke rumah. Lalu di depan istri saya konfirmasikan kisah itu.
Komen istri saya, “Anak kecil aneh hihihi…”
Selamat pagi Paman.
Saya menyukai kopi semenjak bekerja, sebelumnya saya minum kopi karena ada perlunya- menjaga mata tetap terbuka agar bisa belajar di malam sebelum ujian misalnya 😁
Tapi sewaktu kecil (SD seingat saya, atau sebelumnya) saya sering diberi kopi oleh ayah saya, dituangkan ke pisin/lepek dari cangkirnya. Kopi itu ditiup-tiup dulu supaya tidak terlalu panas. Waktu itu rasanya gagah karena minum minuman orang dewasa 😆
Halo Wiwied!
Ya, dulu kopi untuk orang dewasa 😁
Kalo di kedai kopi kok ada orang menuang ke cawan ya? Apa karena pakai cangkir rendah?
“Kalo di kedai kopi kok ada orang menuang ke cawan ya?”
Apakah yang Paman maksud cawan itu sama dengan pisin?
Kalau memang seperti itu, agar lebih cepat pendinginannya Paman, karena luas permukaan pisin lebih besar daripada luas permukaan cangkir ataupun gelas.
“Kopi itu ditiup-tiup dulu supaya tidak terlalu panas” -> maksud saya, yang ditiup adalah kopi yang sudah dituang ke pisin, supaya lebih cepat lagi pendinginannya.
Iya. Biar dingin Ialu diseruput 😁
https://blogombal.com/2015/09/01/kopi-dalam-gelas/
Saya mulai ngopi SMA kalau ga salah. Heran juga dengan anak-anak sekarang. Saya takut, Tongki akan menjadi dewasa lebih cepat… 🙂
Sepanjang minumnya dalam takaran wajar kayaknya aman kok 🙏