Menyurati diri sendiri untuk dibaca nanti

Bagi Anda mungkin menarik, menulis surat untuk diri sendiri, dibaca pas ultah ke-100 nanti. Emang masih bisa baca? Ahli waris belum tentu peduli.

▒ Lama baca < 1 menit

Perlukah menulis surat untuk diri sendiri?

Pagi ini saya mau menulis label mi kering bikinan Sukoharjo, tetapi di aplikasi Jetpack muncul prompt untuk menulis surat, tentang usia saya ke-100 kelak. Saya tak tertarik. Siapa yang baca?

Saya nanti misalnya masih hidup tak dapat membacanya. Kalau istri dan anak cucu saya tak melaporkan kematian saya ke sebuah sistem administrasi, agar memberi tahu sudah saatnya surat bisa dibaca ahli waris, maka surat saya seperti sampah digital lainnya dalam belantara teks.

Oh, bagaimana kalau ada sistem yang menyedot data Dukcapil pemerintah sehingga ada info bahwa saya sudah lenyap dari muka bumi, sehingga surat akan terbit? Walah, itu lancang dan lajak. Tak ada perlindungan data pribadi.

Atau, ada tato kode QR kecil di bagian luar tubuh yang tersembunyi, hanya pemandi jenazah yang melihat? Misalnya pun mereka tahu password-nya di platform tujuan, belum tentu ingin tahu. Ngapain nambah kerjaan?

Eh, kenapa tak menanamkan susuk berupa cip ke dalam tubuh saya? Begitu secara definitif medis saya mati, misalnya batang otak tak berfungsi, cip akan mengirimkan data kematian, entah dengan frekuensi apa dan milik siapa, ke sebuah pusat data. Lalu buat apa kalau ahli waris tak butuh, begitu pun notaris dan maskapai asuransi?

Jangankan kelak. Sekarang pun informasi sudah sesak, seakan melebihi kapasitas otak kita untuk mengelolanya.

Penyimpanan informasi fisik bisa di tempat lain, misalnya artefak bisa berupa album foto. Sedangkan informasi digital berada di awan, semuanya menghemat kapasitas simpan dalam benak, tetapi otak kita akan kewalahan mengelola sistem pemanggilan data.

Masih banyak urusan yang harus dipikirkan, dan aneka masalah kehidupan yang harus dijalani oleh ahli waris saya secara intuitif dan instingtif, dengan sekian gradasi kesadaran.

Ah, sudahlah. Jangan ngayawara. Kalau kita sudah mati ya sudah. Urusan selesai. Memang sih bagi ahli waris belum tentu, misalnya yang menyangkut aset dan utang, seperti kasus warisan Probosutedjo.

Waktu masih SD saya membayangkan menulis surat, saya masukkan botol, lalu akan ditemukan orang sekian puluh tahun kemudian di pantai entah benua mana. Berita terbaru tentang surat dalam botol lihat UPI.

Apakah Anda pernah menulis surat dalam botol?

Ketika SMP saya berkemah di sebuah pantai selatan di DIY. Niat membikin surat untuk saya botolkan pun urung karena saya tak tahu cara menutup botol Fanta agar tahan korosi. Saya juga melihat, semua benda akan ombak kembalikan ke tepian.

Saat itu saya belum tahu bahwa membuang botol ke laut sama saja menyampah.

¬ Gambar praolah: Unsplash

Siapa yang duluan tamat, blog ini atau aku?

2 Comments

srinurillaf Jumat 17 Maret 2023 ~ 10.21 Reply

Somehow saya sependapat. Menulis surat untuk kita di masa depan, untuk 100 years old-me atau me 5 years from now; kurang pas. Apalagi kalau gak dikasi usia sampai segitu. Ehehe.

Lebih pas tuh nulis untuk diri kita sendiri di masa lalu. Untuk 20 years old me, atau untuk 10 years old me. Gituuu.

Pemilik Blog Jumat 17 Maret 2023 ~ 18.18 Reply

Siiiippp Mbak. Sebuah retrospeksi gitu 😇👍

Tinggalkan Balasan