Dari dalam rumah, tembok yang mengapit gang itu menampakkan grafiti “Ya!!” — dengan dua tanda seru. Apa maksudnya tentu saya tak tahu.
Grafiti, artinya coretan pada tembok, memang bisa memuat tulisan apa saja. Hanya pembuatnya yang paham. Nah, meskipun grafiti grafiti tak berkonotasi serius, seperti main-main, di Indonesia pernah ada penerbit buku Grafiti Pers, ada tokonya pula.
Penerbit buku Grafiti Pers merujuk ke PT Grafiti Pers, penerbit majalah Tempo sebelum bredel 1994. Setelah Tempo terbit lagi, pascareformasi (1998) penerbitnya adalah PT Arsa Raya Perdana, kemudian setelah go public menjadi PT Tempo Inti Media Tbk.
Lalu apa beda grafiti dan mural? Grafiti berupa coretan biasa, cenderung sederhana, sedangkan mural berupa lukisan pada tembok. Kalau fresko? Untuk mudahnya kurang lebih sama dengan mural.
Kembali ke ke grafiti yang bilang ya, misalnya di tembok sebelah atau seberangnya bertuliskan “Tidak!”, juga boleh dengan tiga tanda eksklamasi, saya akan teringat kampanye antikorupsi Partai Demokrat: “Katakan tidak….” Kita tahu beberapa pemerannya akhirnya masuk bui karena korupsi. Coba kalau sejak awal, “Katakan ya pada korupsi.”
Lalu tentang “tidak dak, dak, daakkk…”? Saya teringat Srimulat. Seorang pemain meneriakkan, “Pergi, giii, giiiiii….” Ketika ditanya kenapa begitu, jawabannya, “Echo!”