Ya, benar dan betul. Saya memang pria iseng. Maka pada siang panas ini saya memotong rambut buah rambutan. Ini keinginan yang penuntasannya senantiasa tertunda. Sampai likuran tahun.
Pada tahun 2000, atau malah akhir 1999, saat berjalan kaki menuju kantor, pas melewati halte depan diler Hyundai, Jalan Panjang, Kebonjeruk, Jakbar, saya melihat seorang bapak tua penjual rambutan sedang memangkas rambut buah itu, menggunakan gunting.
“Rapiah, Oom!” dia menyapa saya.
“Napa dicukur, Beh?”
“Nih kepanjangan. Biar rapi.”
Telaten juga dia. Tetapi hasil cukuran tak rapi. Tetap kelihatan sebagai rapiah gadungan. Yah, namanya juga upaya.
Lalu saya membayangkan, apabila saya melakukan yang sama apakah bisa mengubah rasa rambutan kecil yang biasa menjadi lebih kesat dan manis.
Siang ini saya coba. Buah cepak hasil kerja barber darurat ini jujur: rasanya tak berubah, sama saja dengan rombongannya yang agak gondrong tapi jarang. Maka sampel sebutir pun cukup.
Sorenya, atau esok sorenya, setelah pengalaman di halte itu saya membawa raga dan kepala untuk bercukur. Saat itu rambut sudah menipis tetapi belum habis.
“Dihabisin, pelontos, Mas?” pemangkas.
“Nggak. Kayak rapiah aja, sisain setengah senti, rata,” jawab saya.
Dia tersenyum, tampak dari cermin di depan saya. Seorang pria di kursi sebelah, yang tak saya kenal, tertawa. Dia pelontos. Periode rapiah dia sudah terlampaui.
5 Comments
RAPIAH?? Betul-betul istilah yang baru banget saya tahu.
Dan baru tahu juga kalau ada penjual rambutan yang mencukur bulu rambutan agar dikira rasanya enak. Waduh ke mana saja saya ya???
Yang nipu kayak gitu jarang kok, Mbak 😇
Pohon rambutan di halaman omah kulon sudah dipanen buahnya tetapi tidak dibagi-bagi karena jumlahnya tidak banyak. Saya tidak tahu apakah rasanya manis atau kecut, karena tidak dikasih oleh istri — semua diangkut ke kedai.
Kok ndak protes ke bos?
Mana berani?😥