Bagaimana mungkin tradisi menyawer dalam gelaran tayub, ronggeng, dan dangdut dipindahkan ke pembacaan ayat suci?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Saya sedih ketika beberapa hari lalu melihat video di Twitter ada sekian orang menyawer qoriah yang sedang melantunkan ayat suci. Saya tak tega, tak terima. Bahkan akhirnya ada video tak hanya menaburkan uang tetapi memahkotakan uang kertas ke kepala qoriah.

Ternyata dari video lain, qori (pria) pun diperlakukan demikian. Memang saya bukan seorang Muslim. Saya tak bisa berbahasa Arab, tak paham makna ayat yang dilantunkan, tetapi dalam hal ini saya tak merasa mencampuri urusan agama lain. Ini soal kepatutan, berlaku universal.

Religiositas, keindahan, dan seni itu berkelindan. Meski tak paham artinya, kadang saya bisa tersentuh jika mendengar suara qori dan qoriah yang amat merdu. Suara bisa mengirimkan getar jiwa yang tak semata sebagai objek yang terukur frekuensinya. Sama seperti terhadap lantunan Gregorian Katolik di biara, lantunan Buddhis di wihara, doa puja di pura, bahkan kekidungan tunggal dari dalam sebuah rumah berdinding anyaman bambu di tengah malam sepi tanpa listrik, di sebuah desa, yang pernah saya alami.

Ingatan masa kecil yang masih melekat kuat, karena ada daya panggil nan mengimbau, justru suara sayup azan tanpa Toa dari surau di ujung batas sawah saat saya pulang sekolah SD. Juga suara timbul tenggelam suluk atau tadarus, pun suara acara serupa dengan rebana, dibawa angin dari sebuah langgar entah di mana menjelang tengah malam sepi saat saya SMA. Bukan hanya suara. Ada getar panggilan.

Saya tak habis mengerti kenapa penampilan qori dan qoriah diusik urusan profan yang keterlaluan: sawer menyawer.

Jika menyangkut tayub dan dangdut, juga striptis, saya bisa menenggang, bahkan jika uang tak hanya ditaburkan tetapi juga diselipkan ke balik kutang atau lebih jauh jika dalam tontonan tertutup. Menenggang dalam arti membiarkan karena para perempuan penonton juga menenggang namun sayangnya ada anak-anak untuk dangdut. Tetapi tidak untuk wilayah religius.

Kali ini posting saya tanpa gambar untuk ilustrasi. Apa yang saya nyatakan saya rasa sudah jelas. Untuk memperjelas konteks saat posting ini kelak menjadi arsip, cukup saya sematkan cuitan Twitter.

2 thoughts on “Sawer menyawer

  1. Ikut bela sungkawa atas matinya nurani dalam adegan sawer di atas. Cuma bisa istighfar karena trend untuk menunjukkan “kesalehan” sudah terlalu jauh dibajak menjadi sekadar kegiatan visual, terutama di depan kamera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *