Bambang Sugeng, penerjemah yang menulis opini kebahasaan di koran Kompas (Selasa, 13/12/2022), tak terima disapa “kamu” oleh orang bengkel mobil dan dikelompokkan sebagai bagian dari “kalian” oleh seorang siswi SMP.
Saya tak menyalahkan Bambang. Saya pun kurang sreg jika dikamukan oleh seseorang yang jauh lebih muda daripada saya.
Kurang sreg bukan berarti marah. Dahulu ada sejawat belia, cewek, bekas manajer band, empat tahun di atas anak saya, selalu menyapa, “Eh Paman, kamu anu anu anu?” Terhadap semua orang senior di kantor itu, termasuk CEO dan komisaris utama, yang dia sapa Pak, dia selalu berkamu.
Saya juga kurang sreg jika dengan mudah dikaliankan dari pentas, kecuali saya salah tempat, hadir dalam sebuah acara pensi SMA seperti pernah saya alami di SMA Gonzaga, Jaksel, saat menjemput putri saya, sepuluh tahun silam. Acara itu bukan untuk orang tua. Memang sih saya sengaja menonton The S.I.G.I.T..
Saya teringat tulisan Pramudya Ananta Toer ketika seorang prajurit interogator, muda, menanya dia dengan berkamu. Pram kesal. Kalau dalam sandiwara tujuh belasan, orang Belanda selalu bilang kepada inlander, “En kowé orang extreemist toch?”
Bahasan tentang aneka sapaan, juga dalam komunikasi produsen dan konsumen, pernah saya tulis untuk Koran Tempo. Termasuk Surya Paloh yang meng-kamu-kan Megawati Soekarnoputri.
¬ Gambar praolah: Unsplash
2 Comments
Kamu setara dengan kowe dalam Bahasa Jawa. Saya juga kurang sreg jika dikowekan oleh orang-orang yang lebih muda daripada saya. Beberapa di antara mereka menggunakan kata “kono”, dan saya lebih bisa menerima. Sebagian kawan saya yang lebih tua juga menakai kata kono.
Saya sendiri sering memakai sampeyan atau njenengan/penjenengan bahkan tidak hanya ke orang-orang yang lebih tua.
Begitulah. Di Jatim pun orang hanya bersampean dengan orang yang bisa menerima. Njenengan dipakai kalau kita orang asing atau baru, dan lebih tua. Bukan kon.