Di pelbagai grup WhatsApp riuh bahasan soal rencana kirab pengantin Kaesang dan Erina. “Ada yang pro, kontra, dan cuek. Kalo aku sih nggak pro, nggak anti, Mas.”
“Namanya juga orang. Beda selera. Juga bisa beda perlakuan, tergantung siapa keluarga mempelai, pakai duit siapa, dan seterusnya,” sahut Kamso.
“Mungkin karena pake kereta kuda ya, Mas. Masuk Pura Mangkunegaran pula.”
“Mungkin juga. Dulu mbakyunya Kaesang, siapa itu, Kahiyang dan Bobby waktu nikah juga pake kirab kereta. Aku lupa rutenya. Yang aku inget nama salah satu kudanya itu Mulan Jamilah, karena cantik dan penurut kata yang punya.”
“Lantas kenapa Kaesang jadi masalah? Dibilang feodal, sok kerajaan?”
“Nggak tau. Waktu Kahiyang nikah malah di medsos dan media berita dibilang royal wedding. Siapa yang royal family? Atau royal dalam arti boros, suka nraktir?”
“Hahahahaha! Tapi aku liatnya seneng kok, Mas! Jadi kalo nurut Mas itu salah ya?”
“Nggak. Arak-arakan itu biasa. Anak khitanan juga pake arak-arakan penganten sunat, kan?”
“Terus?”
“Kita ini memang feodal. Di beberapa suku, termasuk Jawa, rias manten aja pake gaya istana. Nggak plek ketiplek tapi merujuk ke sana, sejauh pengetahuan dan ketersediaan bahan. MC pakai bahasa dalang yang nggak semua orang Jawa paham. Pokoknya dibikin sophisticated gitulah. Malah ada istilah raja dan ratu sehari kan, Jeng?”
“Terus yang nggak feodal gimana?”
“Nggak tau. Kudu nyari gambar kuno petani punya gawe.”
“Kita dulu waktu nikah pake adat Jawa, juga pake gaya feodal sok priayi kan, Mas? Kata Mas kita ini keturunan petani. Nenek moyang raja juga petani bahkan ada yang kècu?”
¬ Elemen visual: sampul buku karya Suwarna Pringgawidagda, sampul buku karya Astri Wahyuni, Unsplash