Saya tahu tempat menukar koin namun tak pernah kesampaian. Kalau terlalu pagi, uang dia belum banyak. Kalau agak siang sudah panas. Oh, dia siapa? Pak Ogah.
Tentu tak mungkin menukar dari mobil kecuali saya dan dia sudah janjian, sehingga dari jendela dapat berserah terima koin — sama seperti dahulu dia memberi bingkisan seikat rambutan. Artinya saya harus bersepeda ke pertigaan ramai, hampir dua kilometer dari rumah.
Tadi saat makan siang di warung Padang, saya melihat dua mangkuk koin, yang semangkuk masih dalam plastik. Saya tanya Uda Warung, di manakah menukar koin. Ternyata jauh, ke tukang parkir di Kranggan arah Cibubur.
Usai makan saya kayuh sepeda menuju pertigaan yang tadi saya sebut. Saya tahu pasti sudah ganti shift. Artinya koin Pak Ogah edisi siang belum banyak.
Setiba di lokasi, sepeda saya parkir di bengkel motor. Lalu saya berjalan ke sudut pengkolan dan berteriak, “Hoiii, Bang! Saya mau tuker koin!”
“Maap, Pak. Baru masuk nih, belum banyak duit,” sahutnya.
Saya tahu masih ada lokasi lain yang dapat dicoba. Lebih jauh sih. Tetap harus bersepeda atau jalan kaki karena saya tak punya motor.
Kini transaksi nirtunai kian sering. Akibatnya uang kertas kembalian Rp1.000 dan Rp2.000 rupiah makin sedikit yang kita pegang, apalagi koin Rp500 dan Rp1.000. Kalau di parkiran ramai sih kita bisa minta kembalian dari tukang parkir.
Saya membayangkan ada mesin penukaran koin seperti ATM dengan setoran tunai. Pasti laku. Tetapi biaya operanalnya pasti mahal. Koin itu berat, lebih membebani komponen bergerak dan baki, tetapi total nilai instrinsiknya rendah. Sekilogram koin Rp1.000-an pasti lebih rendah nilainya dari sekilogram uang kertas Rp1.000-an. Untuk pelayanan masyarakat, mestinya Bank Indonesia memasang mesin itu.
Bagaimana jika mesin jackpot dimodifikasi jadi mesin penukaran koin? Ada biaya tentu. Maka uang kertas Rp10.000 hanya mendapatkan tujuh koin Rp1.000-an.
Dahulu, abad lalu, di halte UKI, Cawang, Jaktim, kondektur Mayasari Bhakti P6 menukarkan uang kertas Rp1.000 kepada inang-inang dapat delapan koin Rp100-an. Tetapi masa sih bank sentral meniru inang-inang?
9 Comments
Tunggu, tunggu, “inang-inang” itu apa Mas?
Btw jangankan koin, sekarang saya jarang sekali punya uang tunai. Pak Ogah, dan semua pekerja jalanan harus mencari inovasi agar tetap dapat pemasukan tanpa ada pertukaran tunai. Gimana ya ngasi uang digital ke beliau-beliau ini? 😔🤔
Inang, sebutan untuk ibu dalam bahasa Batak. Mereka gigih ulet. Penyedia koin di beberapa halte dulu inang-inang.
Soal uang receh memang merepotkan. Duit Rp2.0000 aja sekarang sulit. Solusinya ya mereka e-wallet 😂
Koin Rp 500 vital di kedai istri saya untuk susuk. Saya secara berkala dapat dari kenalan yang punya tugas mengumpulkan duit jimpitan ronda di kampungnya. Rumah dia jauh dari rumah saya, sekitar tiga kilometer.
Belakangan, saya dapat juga dari mas saya lupa namanya, menantu ibu pedagang nangka langganan saya di Pasar Legi. Rumahnya di daerah Boyolali, dan koin-koin itu saya ambil di lapak mertuanya di Pasar Legi.
Istri saya sering mendapatkan dari tetangga pemilik tempat parkir motor di samping kedai (tempat parkir bagi para pembeli kedai istri saya), dan dari seorang ibu pedagang arang di pasar tradisional tak jauh dari rumah saya, serta dari beberapa kenalannya.
Koin seribu rupiah saya jarang mencari, tapi pernah dapat dari BCA dalam jumlah banyak, lebih dari Rp 2 juta. Pecahan kertas Rp 1 000 enggak pernah saya cari, sedangkan pecahan Rp 2.000 gampang saya peroleh di BCA maupun Mandiri dekat rumah.
Demikian komentar panjang saya.
Wah bersyukurlah Lik Jun 👍
BTW Paman kok berburu koin lima ratusan ada apa?
Lha ya biar punya
🙏
Buat bayar Pak Ogah 😂
😂